Latah, Penyakit Orang Indonesia

Penyakit ini emang nggak ada matinya, deh. Masyarakat Indonesia emang udah sangat familiar dengan kondisi ini: latah. Mulai dari latah fashion, latah serial TV, hingga latah gaya hidup. Setelah beberapa tahun lalu orang Indonesia latah backpacking, kali ini orang Indonesia masih latah satu hal: naik gunung.

Waktu itu tahun 2012. Gue masih inget banget, ada roadshow film Indonesia yang mampir ke fakultas gue untuk promosi film. Film yang diangkat dari novel Indonesia berjudul sama. Intinya, film itu adalah film persahabatan dan film tentang naik gunung.

(kayaknya gue nggak perlu nyebut judul filmnya, pasti udah pada tau)

Terus, entah kenapa, tiba-tiba semua orang kepingin naik gunung yang sama seperti di film tersebut. Nggak lama kemudian, gue ngedenger berita beberapa obyek wisata yang terletak di situs pendakian jadi kotor karena ulah pendaki gunung latah.

Oke. Sekarang udah tahun 2015. Gue punya temen dari jaman kuliah. Sejak kuliah dulu, gue udah tau banget kalo temen gue ini nggak berminat sama kegiatan alam macam naik gunung atau trekking, dan gue juga nggak masalah soal itu. Kemudian gue ngeliat Path-nya dia, dan ternyata dia abis naik gunung sama temen-temennya. Yaaa… bukan gunung Mahameru sih, baru Papandayan kok, yang deket dari Jakarta. Tapi setelah naik gunung itu belagunyaaaaa… minta ampun! Setelah naik gunung, gue perhatiin, posting dia di Path isinya soal naik gunung melulu. Soal kehidupan jadi anak gunung lah, soal merek-merek carrier dan sleeping bag lah, pokoknya macem-macem. Gue jadi risih sendiri. Kemudian gue unshare aja, daripada nambah dosa ngatain orang di belakang.

Nah, tipe-tipe kayak gini nih, yang gue nggak suka.

Mungkin para pendaki latah itu mikir bahwa “lo bukan anak alam sejati kalo nggak suka naik gunung”. Hello… different strokes for different folks. Ada kok, pecinta alam yang lebih suka eksplor dunia bawah laut ketimbang naik gunung. Ada kok, orang-orang yang cinta alam tapi lebih ngerasa bebas kalo forest trekking (seperti gue). Intinya, kalo lo ngaku lo pecinta alam, ya harus ngerti juga dong bahwa nggak semua orang suka naik gunung. Ya… kecuali kalo lo anak pecinta alam latah, sih.

Gue jadi inget beberapa tahun lalu orang Indonesia latah jadi backpacker. Kayaknya pas mulai banyak maskapai murah di Indonesia, deh. Semua orang langsung ramai-ramai beli tiket murah. Semakin murah, gengsinya semakin besar. Semakin ngemper penginapan, semakin jumawa. Pokoknya semakin kecil biaya yang dikeluarkan untuk jalan-jalan, maka dia jadi pemenangnya! Huh, padahal mereka nggak sadar bahwa semangat backpacking itu bukan seperti itu. Semangat backpacking nggak terletak di masalah moneter, melainkan seberapa banyak pengalaman hidup yang kita dapat dari jalan-jalan.

Hal yang sama juga gue liat dari latah naik gunung ini. Kadang gue kangen masa di mana naik gunung belum jadi hobi mainstream. Gue kangen dengan keberadaan anak-anak Mapala yang emang bener pecinta alam, pergi ke alam untuk mengenal diri sendiri, bukan pendaki latah yang pergi ke alam untuk foto-foto, selfie, kemudian masuk ke media sosial dengan maksud untuk pembuktian diri. Gunung, seperti halnya kenampakan alam lainnya, itu ibarat dua sisi mata uang. Di satu sisi dia bisa jadi pemandangan yang luar biasa bagusnya, di sisi lain dia juga bisa jadi sumber kematian.

Bagaimana dengan di luar negeri? Waduh, orang sini mah kayaknya seneng banget sama kegiatan alam. Dan hebatnya, mereka sangat menjaga alam, lho. Selain itu, olahraga mereka juga bukan sekedar mountain hiking, tapi ada yang bawa-bawa sepeda segala. Dan yang lebih seru, kegiatan alam ini dinikmati seluruh keluarga. Contohnya, waktu gue forest trekking di Mittenwald, gue berpapasan dengan seorang ibu muda yang bawa anaknya trekking. Anaknya masih sekitar umur 6 tahun, cewek, dan kayaknya seneng banget diajak mamanya jalan-jalan ke hutan. Ada juga pasangan oma dan opa yang gue temui dalam perjalanan pulang, mereka baru selesai forest trekking juga. Disini, kegiatan alam bukan dipandang sebagai ajang pembuktian diri, tapi untuk mendekatkan diri sama alam, dan untuk sarana kontemplasi diri juga, selain untuk olahraga sehat.

Kayaknya segini dulu deh curcol-an gue. Udah ah, mau ngerjain esai dulu.

15 komentar pada “Latah, Penyakit Orang Indonesia”

  1. Ooohh aku ga tau lho Crys kalo sekarang lagi latah kembali ke alam. Aku taunya kalo beberapa gunung di Indonesia sekarang kotornya minta ampun karena berbondong-bondong naik gunung sekaligus buang sampah digunung. Pffttt kalau tujuan ke Gunung buat foto2 aja mending Foto di studio 😒

    Aku dulu ikut Pencinta Alam naik gunung sejak SMA sampai kuliah. Setelahnya pas kerja, dapet teman-teman yang suka snorkeling dan diving akhirnya ganti haluan ke laut karena pengen ganti suasana. Masing-masing tempat punya keseruan tersendiri karena memang ikutnya dari hati bukan karena upload social media. Manalah jamanku naik Mahameru ada FB jaman SMA dulu haha. Jadi kesenangannya beda, karena memang ingin dekat dengan alam.

    Suka

    1. Sekarang lagi latah mbak, di Indonesia. Nah efeknya ya gitu, di Ranu Kumbolo kalo lagi long weekend ramenya seampun2 dan mereka buang sampah sembarangan. Temenku yg suka naik gunung bilang gitu. Waktu itu aku bilang, “Kalo gue balik Indonesia, gue mau forest trekking” dia bilang “forest trekking disini malesin karena banyak sampah, Tal”. Jadi sedih.

      Suka

  2. permisilihinnyi adalah orang2 yang naik gunung tanpa concern dengan safety rules yang berlaku dan maen poto2 gak jelas. kalo udah kejadian aja, pada ribut… you may go with the trend, but do it right, do it safe, and do no harm (kaya Hippocrates’ oath aja :p) apalagi yang ada kaitannya sama aktivitas fisik macam naik gunung.

    p.s. mahmud abas (mamah muda, anak baru satu)-nya cakep gak? #salahfokus

    Suka

  3. Tujuan naik gunungnya mgkn cm buat bahan postingan di socmed aja? Jadi nggak yg murni dari hati, gitu, hahahaha….. Murniii…. Susu sapi kaliiiik, murni 😆

    Suka

    1. Jadi inget temenku itu mbak, yang tiba-tiba jadi sok anak gunung setelah naik gunung pertama kali. Ada kali, pas dia naik gunung posting foto banyak banget. Aku sampe salut sama handphone dan sinyalnya yang kuat banget bahkan di gunung masih bisa dipake buat upload foto…

      Suka

  4. hahaha.. iya sihh. ada temen gw juga yg kyk gt tall.. tiba2 suka naik gunung.. dan dia tuh model cewek yg shopping branded gt. ahahah.. dulu gw naik ke gunung ijen juga karena kesalahann.. udah sign up.. katanya cuman trekking about 1,5 hrs.. trus bs lihat blue fire.. ternyata, trekkingnya jauh bngtt.. hahaha.. kalo gw sihh ga bs deh rasanyaa jd pecinta alam yg naik gunung. hahaha. kecuali lg pergi ke luar negri, dan emang tempat wajib buat di explore.. itu mungkin gw mau trekking. haha.

    Suka

      1. bagus sihh.. breathtaking emang.. voto2 juga.. masukin blog juga.. hahaha.. tapi yaudah. gt aja.. appreciate alamm dan kemegahannya.. tapi ga ngerasa jadi ‘anak gunung’ after that. hahaha.

        Suka

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.