Curhat: Last Day.

Tanpa terasa, malam ini adalah malam terakhir gue di Indonesia. Selama di Indonesia selama satu bulan penuh, gue berhasil kembali bergaul dengan teman-teman lama yang sudah ada sejak gue kuliah, juga kembali bertemu dengan adik-adik dan sepupu-sepupu yang ekstrovert dan seru-seru. Esok malam gue akan kembali bertolak ke Belanda dengan tujuan yang berbeda dari tahun lalu. Jika tahun lalu gue bertolak untuk belajar, kali ini gue bertolak kembali ke negeri Kincir Angin untuk mencari peruntungan.

Jika gue disuruh menyimpulkan liburan gue ini dengan satu kata, gue akan memilih kata ‘Tekanan’. Mungkin kalian sudah baca tulisan gue tentang bagaimana gue ditekan keluarga untuk tidak buang-buang waktu beberapa minggu lalu. Ya, tekanan selalu gue alami selama liburan, terutama di seminggu terakhir. Karena tekanan, gue jadi malas bertemu orangtua dan oma opa karena mereka pasti menyelipkan obrolan berbau pekerjaan yang ujung-ujungnya gue selalu diberi wejangan untuk terus melihat pekerjaan juga di Indonesia. Ya intinya nyuruh gue pulang. Atau juga tekanan dari oma gue beberapa minggu yang lalu seperti dengan seenaknya membandingkan gue dengan anak dari salah satu rekannya yang kerja di Amerika dengan gaji yang sudah berapa digit. Kemudian dia menambahkan, kalau kerja di luar negeri tuh ya cari pekerjaan yang gajinya besar kayak begitu, kalau gajinya biasa aja ya lebih baik pulang. Kesal sekali gue rasanya dibandingkan seperti itu, tanpa mengerti faktor lain seperti kemungkinan besar anaknya si kerabat oma itu sudah lama menetap di Amerika sejak lulus dan sudah punya kerjaan tetap jadi gajinya bisa sampai belasan digit per tahun. Masa iya orang seperti itu dibandingkan dengan gue yang baru lulus dan pengalaman kerja masih level pemula?

Gue merasa yakin bahwa dengan orangtua gue memberi tekanan seperti ini, tandanya mereka nggak paham bagaimana cara menghadapi gue. Tekanan yang mereka berikan kebanyakan berupa kata-kata pasif agresif atau singgungan yang nggak perlu, yang malah bikin gue kesel karena gue tipe orang yang selalu bicara apa adanya dan menginginkan orang lain juga bicara apa adanya ke gue. Di sisi lain, gue nggak merasa perlu buang-buang waktu menjelaskan ke mereka bahwa ini pilihan gue, tolong hargai dan semangati pilihan hidup gue walaupun mungkin kalian menginginkan hal sebaliknya. Jauh dari keluarga nggak akan membuat gue jadi satu derajat lebih rendah, melainkan gue akan sangat berterima kasih karena diberi kebebasan untuk memilih jalan hidup dan mengembangkan potensi pribadi tanpa harus bawa-bawa nama keluarga atau memikirkan “Gimana kalau keluarga X lihat ini? Gimana kalau keluarga Y lihat ini?”. Diberikan perlakuan pasif agresif malah membuat gue merasa kurang percaya diri dan merasa bersalah karena dapat pemikiran lagi-lagi gue meninggalkan keluarga, semua salah gue, kenapa gue egois sekali, dll dsb. Anehnya, sisi lain dari gue justru lebih merasa seperti dipecut untuk membuktikan ke keluarga gue bahwa gue bisa lho mendapatkan pekerjaan dengan gaji yang cukup dan bikin gue bahagia, dan lama-lama mimpi gue mandiri secara finansial pasti akan tercapai.

Salah satu indikator lain bahwa keluarga gue nggak paham gue adalah bahwa mereka menganggap gue belum berubah. Memang, kebiasaan-kebiasaan yang gue lakukan adalah kebiasaan yang selalu gue lakukan saat sebelum pindah, dan dengan begitu mereka bilang gue nggak berubah. Padahal sebenarnya gue sangat berubah 180 derajat dari gue yang dulu. Gue jadi jauh lebih mudah beropini, berargumen, dan jauh lebih percaya diri dengan kemampuan diri sendiri. Sudah selesai masa-masa Crystal yang iya-iya aja, atau malas mikir. Sayangnya mereka menganggap gue yang tidak berubah adalah gue yang lebih baik, padahal sebenarnya gue sudah berubah banyak sejak terakhir gue tinggal di rumah ini.

Gue sungguh sangat nggak sabar untuk pulang ke Belanda. Ya, pulang. Gue merasa sangat nyaman di Belanda karena dipenuhi dengan orang-orang di sekitar gue yang: a) sama-sama mencari kerja, dan b) sangat suportif dengan pilihan hidup gue. Mereka adalah teman-teman yang sudah gue anggap seperti keluarga sendiri. Aneh rasanya menganggap Belanda jauh lebih nyaman dari Indonesia, tempat dimana gue lahir dan dibesarkan. Jauh lebih nyaman karena di Belanda isinya adalah orang-orang yang mendukung gue dan berani berkata jujur di depan wajah gue, ketimbang orang-orang yang bersikap pasif agresif tentang jalan hidup gue. Semoga begitu gue kembali ke Belanda, jalan karir gue semakin terbuka lebar dan gue cepat dapat kerja, apapun itu pekerjaannya. Gue nggak sabar untuk membuktikan ke keluarga gue bahwa gue bisa mandiri secara finansial dan gue bisa make my own living di sebuah negara yang letaknya 13 ribu km jauhnya dari negara asal gue.

11 komentar pada “Curhat: Last Day.”

    1. Astrid iya nggak sempet ketemu kita… Nanti aja ya kalo kamu udah di Belanda baru kita kopdar!

      Suka

  1. Good luck, Crys. Semoga segera dapet kerja yang menyenangkan. I feel you that sometimes I don’t belong to my ‘hometown’ 😉 Oh well, let’s just carry home wherever we go.

    Suka

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.