Hari Jumat lalu, seorang teman baik nanya via aplikasi chat: “Bedanya pacaran sama nikah di Eropa tuh apa sih?” Dia nanya pertanyaan ini karena di Indonesia, dia melihat pacaran dan menikah di Eropa tuh gak ada bedanya, kayak bebas banget gitu. Sebenernya ini pertanyaan yang cukup klise sih, dan kalau diterusin lama-lama isu stereotip dan budaya jadi masuk juga, tapi dalam kesempatan ini gue mau share tentangmenikah vs pacaran di Eropa.
Disklaimer: Tulisan gue ini adalah hasil observasi, pengalaman pribadi, dan tanya-tanya dengan teman-teman yang tinggal di Belanda dan negara sekitar.
Sebenernya, anggapan temen gue itu ada benarnya. Di Eropa memang semuanya bebas. Tapi ini dikarenakan paham bahwa jika kita sudah punya ID, tandanya kita sudah dewasa dan bebas mengatur kehidupan sendiri. Bebas tinggal sama siapa aja, bebas punya hubungan dengan siapa aja. Proses pendewasaan di Eropa tergolong lebih cepat dibandingkan di Indonesia. Di Indonesia, nggak jarang seorang anak harus tinggal dengan orangtua sampai mereka dipinang/meminang orang lain, nah pinangan ini adalah barometer kedewasaan di masyarakat Indonesia. Sementara itu di Eropa, jika sudah keluar dari rumah orangtua atau bayar tagihan sendiri, maka dianggap sudah dewasa.
Pacaran di Belanda berbeda dengan pacaran di Indonesia. Di Belanda, wanita dan laki-laki sudah dianggap punya emansipasi yang sama, jadi sah-sah aja kalo cewek ngajak cowok jalan duluan. Kalau di Indonesia kan masih banyak anggapan atau ajakan cowok yang masih harus usaha ngedapetin cewek. Soal bayar pas kencan pertama, biasanya cowok yang bayarin, tapi lama-lama cewek juga bisa bikin kesepakatan bayar masing-masing atau si cewek yang bayarin. Selain itu, di Belanda nggak ada acara “nembak” seperti di Indonesia. Biasanya mereka melakukan defining the relationship alias nanya ke satu sama lain, “Kita ini hubungannya apa sih?” atau “We’re together,right?”. Sah-sah aja nanya seperti ini karena kita sebagai manusia butuh kejelasan status. Karena nggak ada acara tembak-menembak, jadinya pasangan pacaran di Belanda punya tanggal anniversary berdasarkan hal-hal tertentu, misalnya tanggal kencan pertama, tanggal tidur bareng bersama, atau tanggal defining the relationship tersebut.
Pacaran di Belanda atau di negara Barat bukan berarti harus selalu tinggal bersama. Ada kok orang-orang yang memilih nggak tinggal bareng padahal statusnya sudah berpacaran karena komitmen tempat kerja, belum siap, atau hal lainnya. Masalah kesiapan tinggal bersama itu penting banget lho. Tinggal sama pacar tuh ga selamanya menyenangkan terus. Kadang kalau lagi berantem, rasanya pengen keluar rumah berjam-jam aja biar ga liat mukanya. Di sisi lain, tinggal bersama juga bisa jadi kesempatan bagus untuk belajar mengatur finansial bareng dan kita bisa tahu sifat pacar di rumah. Jadi kalau nanti menikah, nggak merasa dapat kucing dalam karung.
Oh iya, kalau statusnya pacaran, kita juga bebas mau membeli rumah atau menyewa rumah sama-sama. Paperwork nggak akan dibikin rumit dan prosedurnya sama aja untuk semua orang dengan status hubungan apapun.
Bagaimana dengan punya anak sebelum menikah? Lagi-lagi hal ini juga hal yang dianggap biasa untuk masyarakat perkotaan. Biasanya pasangan yang punya anak sebelum menikah udah pasti serius banget ingin membina keluarga. Tapi untuk masalah menikah enggaknya, nah ini kembali lagi ke perspektif masing-masing. Banyak orang yang berpikir bahwa punya anak itu rejeki, walaupun belum menikah tapi kalau dikaruniai anak ya harus dijaga baik-baik.
Which brings us to another topic: marriage. Di Belanda dan negara Eropa kebanyakan, ada banyak status hubungan yang diakui, seperti registered partnership yang berarti hubungan pacaran yang diakui negara. Tidak seperti pernikahan di Indonesia yang dianggap sakral dan menjembatani hubungan dua keluarga, pernikahan di Eropa lebih dianggap sebagai institusi keabsahan hubungan dua orang. Ada juga yang menganggap pernikahan adalah jembatan antar dua keluarga, tapi itu lebih spesifik masing-masing pribadi. Setahu gue, menikah/registered partnership di Eropa berarti pajak yang dibayar lebih besar karena kedua belah pihak sudah dianggap tidak lajang lagi (kalau masih pacaran, keuangannya masih bersifat individual). Selain itu kalau pasangannya putus/cerai dan punya anak, cara penyelesaiannya berbeda jika pasangan itu statusnya menikah atau pacaran yang diakui negara.
UPDATE: terima kasih untuk salah satu yang komentar di blog gue, ternyata untuk pasangan menikah/registered partnership hitungannya lebih menguntungkan kalau penghasilannya jomplang. Terima kasih mbak Beatrix untuk komentarnya. Buat yang penasaran silahkan cek komentar Beatrix di bawah ya…
Putus hubungan atau bercerai juga sudah dianggap sebagai hal normal dan bukan tabu. Mungkin karena orang-orang di sekitar gue menganggap bahwa yang namanya hidup tuh harus dijalani dari hari ke hari kali, ya. Walaupun sudah tinggal bersama, bukan nggak mungkin besok putus. Ini bukan berarti kita harus gampang menyerah dan nggak punya target dengan pasangan, tapi lebih ke pemikiran life goes on.
Jadi buat yang bilang, “Di Eropa gaya hidupnya bebas banget. Orang pacaran aja bisa tinggal bareng”, itu kayaknya harus mengalami dulu tinggal di Eropa. Tinggal bareng bukan cuma berarti seks, tapi juga berarti memahami karakter pacar sambil menimbang untuk jenjang hubungan berikutnya. Yang namanya menikah, punya anak atau nggak punya anak juga nggak masalah. Kalau (amit-amit) putus/cerai apalagi punya keluarga, bukan nggak mungkin hubungannya masih tetap baik.
Pertanyaan yang jawabannya bisa sampai bikin thesis sendiri, ya. ha ha.
Bener banget, rata-rata di negara barat, pernikahan adalah bentuk perlindungan hukum kepada dua belah pihak (suami dan istri), serta anak-anaknya. Kalau ada apa-apa yang terjadi pada suami, si istri bisa bertindak on behalf of si suami, dan sebaliknya (kecuali kalau suami bikin power of attorney yang memberi kuasa ke orang lain), dan sebagainya.
Tapi selain perlindungan hukum, rata-rata orang yang memilih untuk menikah (daripada registered partnership doang), memang menganggap marriage sebagai hal yang simbolis, untuk menunjukkan komitmen berdua. Tentunya ada juga yang masih konservatif dan mementingkan nilai-nilai agama. Kalau di Belanda, apalagi yang di daerah Bible Belt.
SukaSuka
Yes, sebenernya seneng juga sih masyarakat Belanda masih macem2 gini pendapatnya dan ga seragam. Dinamikanya masih ada.
SukaSuka
Yang kasian adalah kalo pacaran di sini terus orang2 di indo kepo apa udah pernah tidur bareng, apa tinggal bareng apa ga, dsb-nya. Haha.
SukaSuka
Nah iya. Sumpah itu kepo banget dan ga sopan ya Cuni, nanya sampe ke ranah pribadi kayak gitu.
SukaDisukai oleh 1 orang
Really informative article based on true experience. Thanks mbak udah nuliskan buat kami di indonesia. Tidak perlu jauh2 kesana untuk tau bagaimana sosial budaya eropa jaman kekinian.
SukaSuka
Hai, sama sama ya. Semoga makin banyak orang yang bikin tulisan kayak gini, makin banyak yang baca, dan makin banyak yang mengerti bahwa di Eropa nggak semuanya terlalu bebas. Karena terkadang aku merasa di Indonesia orang2nya standar ganda, kalo ada orang dekat punya pacar bule didukung, tapi di sisi lain mereka anggap orang bule tuh infidel, terlalu bebas, gak beragama, dll…
SukaSuka
wah pencerahan bgt nih mbak crystal…
SukaSuka
Terima kasih.
SukaDisukai oleh 1 orang
Wah di sana bayar pajaknya jadi banyak ya kalau kawin? Di Irlandia kalau kawin dan salah satu pihak tidak kerja, tax creditnya bisa diapakai. Lumayan, bayar pajaknya jadi jauh lebih rendah.
Di sini, orang-orang yang pacaran lama masih dikejar-kejar kawin, walaupun nanyanya alus gak sefrontal di Indonesia. Mungkin karena negara Katolik ya, perkawinan masih dianggap hal yang penting. Apalagi sama orang-orang tua.
SukaSuka
Itu aku perlu cek lagi di Internet. Logikanya sih kalau menikah dan sama2 bekerja, pajaknya jadi lebih besar. Tapi aku kan belum nikah jadi gak tau, hehehe.
SukaSuka
Please do, karena logikaku justru sebaliknya. Partnership dan kawin itu justru menguntungkan secara financial (in term of tax) karena bisa dijadikan satu dan ini berlaku di Indonesia juga.
Ketika LGBT marriage gak diakui, mereka basically diambil haknya untuk dapat privilege ini.
SukaDisukai oleh 1 orang
Nanti aku cari di Internet ya mbak.
SukaSuka
Gue mau komen masalah tinggal bareng, ah.
Gue sendiri di Indoneisa pernah sekamar kost bareng dengan 1 orang, beberapa kali beda orang. Itupun sesama gender semua sih. Nah kapan hari gue ada nulis di blog tentang living together dan pertanyaan gue umum2 banget loh: biaya tambahan kalo tinggal bareng, keperluan bersama (non-materill), dll krn pengalaman2 gue sebelumnya, gue tau beres doank.
Eh ada donk satu komen dari mbak2 nyasar, bilang gini, “Masih muda kok mau kumpul kebo sih.. Gak tau apa kalo itu gak boleh, saya sama suami saya aja yang bule gak kayak gitu” duh gue pengen ngakak rasanya Tal, yang di pikiran dia tinggal bareng = selangkangan terbuka wkwkwk 😆
SukaSuka
Hahahaha!!! Itu logikanya ngaco banget deh. Bener kata lo, gw rasa itu mbak2 nyasar 😂
SukaSuka
Gw baru kepo post lo dan kayaknya si mbak2 itu pamer hidupnya enak banget ya, mulai gak usah bayar apa2 (suami yang bayar semua) sampe kerjaannya sehari2 yang cuma ngurusin rumah tangga 😂 gw heran itu lakinya jadiin dia istri apa pembokat dah 😂 plus kelihatannya bangga banget gitu sama kehidupannya 😂😂😂
SukaSuka
Nah makanya gue gak bahas yg itu Tal, bahas masalah living together-nya aja.. kalo masalah lain2 anggap aja hoki, tp kan gak semua orang seperti dia yaaa 😉
SukaSuka
Salam kenal. Koreksi dikit yah. Buat fiscaal partnerschap menguntungkan kalau penghasilannya jomplang.
Katakan si A penghasilannya 100,000€ tinggal sama si B yang penghasilannya 10,000€. Nah buat perhitungan pajaknya penghasilan mereka bisa digabung dan dibagi rata sehingga pajak mereka jatuhnya di schijf yang lebih rendah.
Lengkapnya silakan lihat persyaratan di https://www.belastingdienst.nl/wps/wcm/connect/bldcontentnl/belastingdienst/prive/relatie_familie_en_gezondheid/relatie/fiscaal_partnerschap/fiscaal_partnerschap
Kalau penghasilan sama rata sih gak gitu ngaruh.
SukaDisukai oleh 1 orang
Nah ini dia nih jawabannya. Nanti aku edit di postingan asli.
Terima kasih ya!
SukaSuka
Well, sebenarnya gak usah menikah/registered partner sih. Asal tinggal di alamat yang sama juga bisa mengajukan fiscaal partnerschap. Adik/kakak atau ortu/anak juga bisa mengajukan fiscaal partnerschap.
SukaSuka
Iya setauku juga begitu soal keuntungan pendapatan setelah menikah di Barat. Jadi selain soal itu, secara keseluruhan perlindungan hukum untuk pihak wanita di Belanda, secara financial dan lain-lain, mana yang lebih kuat, dalam status menikah atau tidak? Atau semua sama saja dengan status registered partner?
SukaSuka
Soal gender, aku kurang tahu. Terlepas dari gender, sepertinya perlindungan hukum sudah merata, nggak peduli gender atau orientasi seksualnya apa.
SukaSuka