Belakangan ini, istilah consciousness sering banget digaungkan dimana-mana. Mulai dari conscious eating, conscious spending, dan satu topik yang ingin gue bahas di tulisan ini: social media consciousness.
Sejak belasan tahun lalu, teknologi mengalami perubahan yang sangat drastis. Puluhan aplikasi baru dirilis setiap hari dan menawarkan pengalaman digital yang berbeda. Apalagi media sosial. Sejak pertama kali revolusi media sosial dimulai di awal tahun 2000-an (ingat Friendster dan MySpace?), kini media sosial jadi salah satu hal paling penting dalam hidup masyarakat.
Dalam satu hari, berapa kali sih, kita masuk ke akun Facebook di komputer atau akun Instagram di ponsel? Apakah kita tergolong pengguna media sosial yang suka membuat status baru hampir setiap hari? Apakah waktu luang kita dihabiskan dengan menonton Instagram Story teman-teman kita, bahkan yang sudah menjauh? Social media consciousness adalah gerakan yang mengajak kita untuk menyadari penggunaan media sosial kita dalam hidup sehari-hari. Berikut adalah maksudnya “sadar”.
Mungkin saat kita lagi kesel, gampang saja masuk Facebook dan curhat tentang kekesalan kita di status, yang bisa jadi menimbulkan keresahan di antara teman-teman kita. Ada yang bisa merasa ke sindir dan bisa menimbulkan situasi gak enak di dunia nyata. Atau saat kita lagi liburan, akun Instagram kita penuh dengan selfie berlibur dan Instagram Story kita penuh dengan rekaman video yang akan hilang dalam waktu 24 jam. Penggunaan media sosial yang ekses seperti ini yang berusaha direm oleh social media consciousness.
Lewat social media consciousness, kita belajar untuk mengontrol apa yang akan kita unggah di akun media sosial kita. Mungkin poin-poin ini bisa jadi barometer apakah sesuatu bisa diunggah atau nggak:
- Apakah status/foto ini akan menyinggung orang lain yang lihat?
- Apakah post ini bisa menunggu untuk dipublikasikan?
- Apakah gue mau orang lain melihat post gue yang ini?
- Apakah status/foto ini akan jadi sesuatu yang bisa gue kenang jika gue lagi iseng cari tulisan lama beberapa tahun kemudian?
- Apakah status/foto ini bisa membahayakan reputasi gue beberapa tahun ke depan?
- Apakah post ini akan bermanfaat untuk gue dan orang lain?
- Apakah gue menghabiskan terlalu banyak waktu untuk membuat post ini? dan yang paling penting:
- Apakah gue bener-bener sedang menikmati apa yang gue lakukan, atau apakah gue hanya ingin kasih lihat orang lain tentang hal baik yang sedang terjadi sama gue?
Salah satu cara terbaik untuk belajar “sadar” dengan jejak digital kita di media sosial adalah dengan cara vakum media sosial untuk beberapa bulan. Gue baru aja mengunduh Instagram kembali, setelah dua bulan absen. Y gue lakukan adalah mengunci akun Instagram dan menghapus para follower yang nggak gue pengen bisa lihat kehidupan gue. Selain itu gue juga unfollow orang-orang yang kebanyakan pamer atau terlalu curated. Sekarang, Instagram gue isinya hanya orang-orang yang gue persilahkan untuk lihat foto-foto gue dan gue hanya follow akun-akun penunjang hobi dan teman-teman dekat.
Semoga niscaya semua orang bisa menyadari betapa pentingnya sadar menggunakan media sosial dan lebih hati-hati dalam mengunggah sesuatu.
Poin terakhir itu kykny aku bgt. Pulg dr Sydney trs tobat. Eh eneg apa tobat ya ama kelakuan diri sendiri, lol. Sejak saat itu udah menarik diri dr IG. Tp disisi lain, pgn juga balik mainan IG buat jualan krn namanya jg ITC yhaaa: Instagram Trade Center, lol
SukaSuka
Kalau disini Instagram gak jadi tempat jualan mbak, karena e-commerce emang booming banget (toko2 macam Tokopedia, Lazada, dll). Atau mungkin emang jadi tempat jualan tapi aku gak ngeh karena gak pernah follow akun kayak gitu ya.
SukaSuka
Tokopedia dan sejenisnya jg booming dimari tp herannya yg demen blanja di IG jg banyak 😅 aku pribadi tentu lbh pilih belanja di Tokopedia gt sih. Tp brusaha jemput bola jg ke IG sbagai seller
SukaSuka
Kalo aku sih sesimpel ini : kalau ga sreg dengan apapun yg ingin ditulis di media sosial entah karena alasan privasi atau alasan2 lainnya, ya mending ga usah ditulis atau disinggung sama sekali karena jejak digital ga bisa dihapus. Makanya aku bener2 pilih dan pilah banget cerita atau status mana yang bisa aku bagi mana yg aku simpan sendiri. Kita sendiri yang menentukan. Semakin nambah umur semakin mikir kedepannya gimana efek dr yg aku lakukan sekarang. Ga terlalu menggebu2 lagi musti nulis status atau nulis cerita yg fenomenal.
SukaSuka
Iya mbak. Kadang walaupun gak sreg, seseorang bisa unggah sesuatu ke media sosial cuma buat dapet like atau banyak komentar aja.
SukaSuka
Aku biasanya uninstall app-nya kalo ngerasa udah menghabiskan banyak waktu dengan sosial media. Bisa dalam jangka waktu dua hari sampe dua minggu. I’m reclaiming my brain 😀
SukaSuka
Kalau buat IG ga terlalu sulit, gw biasanya 1x trip setahun dan foto2 hasil tripnya nampang di IG selama setahun (alias 12x post) hahaha! Yg kadang sulit menahan diri untuk ga komentar justru di Twitter :p
SukaSuka