Kami Bukan Investasi!

Disklaimer: Tulisan ini dibuat dari sudut pandang anak.

Sebulan yang lalu gue menerima telepon dari seorang sahabat di Indonesia. Alih-alih cerita menyenangkan tentang hari Natalnya, dia curhat ke gue. Sejak dia punya pekerjaan tetap, orangtuanya terus meminta uang untuk kebutuhan rumah. Menurut gue ini wajar karena dia masih tinggal sama orangtuanya. Yang nggak wajar adalah dia juga harus menanggung kebutuhan transportasi adiknya dari dan ke sekolah dan terkadang harus menanggung ongkos jalan saudara-saudaranya yang mau berlibur ke Jakarta. (Orang-orang kayak gini belagu amat, gak punya duit tapi kok pengen jalan-jalan, udah gitu nyusahin orang lain?)

Kemarin, lagi-lagi seorang sahabat curhat berapi-api lewat aplikasi chat tentang orangtuanya yang terus-terusan minta uang untuk kebutuhan rumah, tapi di sisi lain selalu bertanya kapan dia beli rumah, kapan dia menikah, dan pertanyaan lainnya yang berbau material. Pertanyaan ini menjadi-jadi kalau dia memakai uangnya untuk berlibur atau beli gadget. (Gimana sahabat gue itu mau mengusahakan beli rumah kalau orangtuanya terus-terusan minta uang?)

Dua ilustrasi diatas membuat gue bertanya-tanya: Apakah kami (anak) dianggap sebagai investasi oleh orangtua? Apakah pemahaman para orangtua kira-kira seperti ini, “Kami sudah mengurus kalian saat bayi dan menyekolahkan kalian sampai lulus kuliah. Sekarang ketika kalian sudah punya penghasilan sendiri, saatnya membayar balik dengan cara membantu kami membayar biaya-biaya rumah”?

Kenyataan ini membuat gue beranggapan bahwa tidak semua orangtua mengenal anaknya dengan baik. Pertama-tama, mereka tidak tahu (atau tahu, tapi menyangkal) fakta bahwa anak tidak diminta untuk dilahirkan. Keputusan punya anak adalah milik orangtua tapi bukan berarti kami jadi milik orangtua. Maka itu, sebenarnya kami nggak punya ‘hutang’ apa-apa terhadap orangtua simply because we weren’t asked to be born.

Kedua, teruntuk orangtua yang menuntut anaknya ikut berkontribusi lewat material untuk kesejahteraan keluarga. Mungkin mereka belum sadar bahwa jaman mereka berbeda jauh dengan jaman kita. Di jaman mereka, hidup jauh lebih sederhana. Default template sekolah, kuliah, kerja, menikah, punya anak itu gampang sekali diikuti karena itu adalah satu-satunya gaya hidup. Pilihan hiburan juga masih belum banyak, lah dulu stasiun TV aja cuma ada satu? Gaya hidup yang sederhana ini jauh lebih memungkinkan mereka untuk menyisihkan gaji mereka untuk dikirim ke orangtua atau untuk bantu-bantu biaya di rumah.

Berbeda dengan jaman sekarang, kesempatan sudah terbuka dimana-mana untuk kami. Kami lebih punya banyak pilihan gaya hidup, termasuk untuk membuat keputusan penting seperti mau kerja bidang apa, mau menikah atau tidak, atau punya anak atau adopsi saja. Hal ini membuat banyak dari kami sadar bahwa kami adalah individual setelah beranjak dewasa. Maka itu, kami juga punya pilihan bagaimana cara mengatur keuangan kami apalagi setelah punya uang sendiri. Bukankah kalau kami berhasil hidup mandiri, mereka juga yang bangga dengan cara kami mengelola uang?

Satu lagi, orangtua sepertinya lupa bahwa kami juga punya standar hidup sendiri yang ingin kami capai. Satu-satunya cara untuk mencapainya adalah menabung. Kami juga punya biaya pribadi yang harus ditanggung, nah kalau orangtua minta-minta uang terus, gimana cara kami menabung untuk hidup kami kelak? Pertanyaan bagus yang patut dipikirkan untuk para orangtua.

Kalau kalian adalah anak yang berpikir bahwa cara berbakti kepada orangtua adalah dengan cara membantu finansial keluarga, gue salut karena itu berawal dari kesadaran sendiri. Tapi kalau orangtua yang meminta anak untuk berkontribusi dan di sisi lain terus menuntut anak untuk hidup mapan, itu yang gue nggak suka. Niatnya mungkin bagus, tapi bisa jadi tolak ukur kemapanan menurut orangtua bukanlah tolak ukur hidup mapan menurut si anak. Biarkan kami menjalani kehidupan kami sesuai apa yang kami inginkan, apalagi setelah kami dewasa.

10 komentar pada “Kami Bukan Investasi!”

  1. Memang menurut agama anak sebaik-baiknya berbakti pada orang tua. Tapi ya kalau dalam kasus cerita kawannya itu kelewatan ya. Nggak semua orang tua berpikiran seperti itu, karena di agama gw ya juga ada nasehat yang kurang lebih berkata sebaik-baiknya orang tua adalah mereka yg meninggalkan keturunannya dalam kondisi baik, dengan kata lain tidak kekurangan secara materiil spirituil dan psikis. Nah apa itu artinya morotin anak sampai hutang sana sini. Intinya perlu saling memahami juga dan cari penengah yang bisa membantu carikannsolusi.

    Suka

    1. Nggak sampe hutang sana sini. Tapi sahabatku beneran merasa keberatan kalau dikit2 dimintain uang tapi ditanyain juga kapan beli rumah, kapan beli mobil dll. Lah kalau uangnya dimintain terus kapan mau beli rumahnya?

      Suka

  2. Hi Crystal, salam kenal. Ini bahasa masa kini nya generasi sandwich ya. Harus ngebiayain keluarga baru (termasuk anak) dan orang tua juga. Aku ngerasain bgt nih. Cuma bedanya orangtua ku gak minta dikasih, dan malah malu kalo aku kasih. Tapi aku sadar bgt ortu sudah pensiun dan pensiunannya gak cukup buat hidup walaupun mereka ga pernah neko2 hidupnya. Adikku juga masih kuliah dan aku juga yg bayarin. Tapi kalau kasusnya kayak temen kamu itu agak sedih sih bacanya. Akhirnya kan jadi nggak ikhlas bantuin orang tuanya. Kalau di eropa kejadian kyk gini hampir ga ada karena pensiunan mereka dr pemerintah udah lebih dr cukup.

    Suka

    1. Hai Lila, salam kenal juga ya. Aku termasuk cukup beruntung karena orangtuaku tergolong keluarga kelas menengah yang cukup, jadi mereka nggak pernah minta uang ke aku. Sekarang aku juga sepertinya belum bisa kasih uang karena kehidupan disini cukup menyita waktu dan harus menabung juga untuk hari tua. Kejadian kayak gini kayaknya masih banyak di Eropa Timur tapi di belahan Eropa yang maju udah hampir nggak ada di perkotaan karena subsidi yang maju dan pemikiran bahwa anak udah punya keluarga sendiri/individu sendiri. Untuk sahabat2 aku ini aku cuma bisa kasih saran ke mereka untuk bikin batasan antara mana yang mereka mau bantu dan mana yang mereka ga bisa bantu karena harus menabung sendiri.

      Suka

  3. Setuju sekali, Crystal. Kalau hubungan anak dgn ortu dari awalnya sudah baik dan penuh kasih, yakinlah anak engga mungkin ngebiarin orang tuanya menderita di hari tua dan pasti sebisa mungkin akan membantu, tanpa diminta pun.
    Justru orang tua yang suka menodong-nodong begitu, aku kasian dgn anaknya karena pasti dari kecil sudah banyak ekspektasi dan beban-beban yang dilimpahkan dari orang tua.

    Suka

    1. Aku ga berani mikir sejak kecil mereka udah dikasih ekspektasi banyak karena dua sahabatku ini masa remajanya ga gitu (aku kenal mereka sejak SMA). Tapi kayaknya emang pemikiran kebanyakan orangtua aja ya yang mikir kalo udah kerja anak harus bantu pake uang. Sebenernya pas aku liburan aku disindir kayak gitu sama oma, aku diemin aja. Ga mempan aku disuruh2 kayak gitu.

      Suka

      1. Iya, senjata paling ampuh memang telinga tebal, ha ha.

        Kalau ekspektasi saat masih muda belum tentu berhubungan dgn uang sih, kalau yang aku perhatikan dari sekililingku, justru kebanyakan yang ga ada sangkut pautnya samsek dgn harta, tapi lebih ke pilihan hidup, baik itu hal-hal sepele ataupun besar. Seperti pemaksaan masuk IPA, jurusan kuliah tertentu, pressure dalam memilih tipe pekerjaan tertentu, dsb.
        Ya, tapi engga berarti semua ortu yang suka ngarah-ngarahin anaknya ujung-ujungnya suka minta duit juga sih, cuma patternnya mirip-mirip. Materi skripsi ni, jadi menarik banget bagi gue 😆

        Suka

  4. Hi Crystal, gak sengaja nemu blog ini dan tulisannya relatable banget dengan situasi gw. Buat saat ini dimana gw masih single dan bantu-bantu ortu blum terlalu mempengaruhi lifestyle gw in general sih gw masih ga masalah mengakomodir. Tapi kalau nanti sudah berkeluarga, punya cicilan rumah dsb sih ga kebayang yah. Dilema banget sih karena di satu sisi pensiunan di Indonesia juga ga bisa dibandingin dengan sistem social security di eropa. Dan ekspektasi-ekspektasi seperti ini juga yang membuat gw dan mungkin orang-orang yang memiliki pengalaman yang sama jadi tidak bisa menjalani hidup sesuai planningnya masing-masing. Misalnya nih, gw pada dasarnya gak terlalu ambisius dengan yang namanya karir, uang, dan sejenisnya dan cukup puas juga dengan apa yang udah dicapai. Namun karena “kami jadi investasi” ini membuat saya jadi lebih ambisius dan materialis dalam hidup.
    Btw, salam kenal 😉

    Suka

    1. Halo Irsalina, salam kenal juga ya. Hmm menarik di poin terakhir kamu bahwa kamu bukan tipe orang yang ambisius dalam karir tapi situasi ini mewajibkan kamu untuk jadi ambisius. Do you like the change?

      Suka

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.