Tentang Survey di Twitter

Halo semuanya, nama saya Dewi, mahasiswa Universitas Meme Indonesia (UMI) jurusan Pulogadung-Kampung Melayu angkatan 2014. Saya sedang melakukan penelitian mengenai engagement netizen dengan meme “Mashook Pak Eko” dan saya mohon teman-teman yang pernah menggunakan meme tersebut untuk mengisi kuesioner berikut. Ada pulsa GoPay seharga 100 ribu rupiah untuk satu pengisi kuesioner yang beruntung. Terimakasih atas perhatiannya. Bantu Retweet ya!

Tweet seperti kutipan diatas sudah sering gue lihat di linimasa Twitter gue selain tweet berbau Twitter please do your magic. Biasanya sih, tweet seperti ini ditulis oleh mahasiswa tingkat akhir yang membutuhkan data untuk skripsi mereka. Kemudian mereka mempromosikan tweet ini lewat akun selebtwit, berharap di-RT oleh selebtwit tersebut dan mendapat banyak responden.

Meminta orang asing untuk mengisi survey sebenarnya wajar, tapi karena gue orangnya paranoid enggan memberi data pribadi, ada beberapa hal yang gue anggap janggal di jenis tweet seperti ini dan lama-lama membuat gue kuatir. Ini dia beberapa poin kekuatiran gue tentang tweet survey dan kenapa kita harus berhati-hati dalam mengisi survey-survey seperti ini.

Kuatir dengan transparansi data

Kebanyakan orang Indonesia memang masih awam dengan seberapa rapuhnya data pribadi mereka di dunia maya, padahal ini hal mahapenting. Sebagai pembuat survey, sudah sepantasnya mereka menjelaskan rantai data responden setelah survey tersebut selesai. Sebagai pengisi survey, hak kita juga untuk bertanya, “Nama, nomor telepon, tanggal lahir gue mau lo apain setelah skripsinya selesai?”.

Kuatir dengan keabsahan data mentah yang didapat

Survey-survey seperti ini kan biasanya beredar di Twitter, berarti semua orang pemakai Twitter punya akses untuk membuka tautan survey tersebut. Yang jadi pertanyaan, apakah ada filter untuk responden? Apa hal yang bikin si pembuat survey tahu bahwa yang mengisi survey ini benar-benar target sesuai yang dia rumuskan? Besar kemungkinan mereka nggak termasuk golongan yang di-target si pembuat survey, terus mereka asal aja ngisi surveynya. Mungkin mereka berpikir, “Kali aja gue dapet hadiah isi survey”. Akhirnya, si pembuat survey mendapat hasil survey yang (bisa jadi) nggak sesuai dengan hipotesisnya.

Kuatir dengan keaslian identitas si pembuat survey

Rata-rata survey dari pengguna Twitter di Indonesia dibuat menggunakan layanan survey gratis seperti Google Docs atau Survey Monkey. Kalau gue jadi responden, ini bisa jadi lampu merah buat gue. Bisa saja si pembuat survey memalsukan identitasnya untuk mendapatkan data responden. Lebay emang, tapi jaman sekarang, orang jahat bisa menggunakan segala cara untuk mendapatkan data orang asing, termasuk bikin survey abal-abal.

Berdasarkan pengalaman gue ngisi-ngisi survey di Eropa, mereka membuat survey di layanan yang telah disediakan institusi. Pasti ada logo institusi di halaman survey tersebut yang menandakan bahwa si pembuat survey adalah anggota institusi yang dimaksud. Selain itu, di awal survey, ada lembar persetujuan tentang transparansi data (baca poin diatas). Kalau si responden setuju, dia akan dibawa ke pertanyaan survey. Kalau tidak, browser akan ditutup secara otomatis.

Kuatir dengan pertanggungjawaban si pembuat survey

Gue penasaran, dari ribuan tweet meminta netizen isi survey untuk skripsi, ada berapa persen dari penulis skripsi yang akhirnya mempublikasikan tautan skripsinya sebagai pertanggungjawaban terhadap khalayak umum terutama kepada para responden surveynya? Sejauh ini, yang gue lihat hanya Retweet dari para selebtwit tentang survey tersebut, tapi belum pernah ada Retweet tentang hasil jadinya (baca: skripsi).

Kalau dinilai terlalu lama, nggak usah tautan skripsi deh, cukup foto skripsi tersebut atau apapun yang menandakan bahwa skripsinya udah jadi dan survey itu memang dipakai sebagai salah satu data dalam skripsi. Intinya, gue kuatir dengan pertanggungjawaban si pembuat survey dengan hasil survey yang dia dapatkan.

Kuatir dengan tempat mereka mencari responden survey

Ini ada hubungannya dengan poin nomor dua. Rata-rata pembuat survey dari Indonesia itu kan mencari responden via Twitter. Padahal pengguna Twitter itu umum sekali dan bisa jadi nggak kena dengan target mereka.

Gimana dengan mencari responden dari circle terdekat dulu, misalnya teman, keluarga, atau lingkungan kampus? Kalau di Eropa sini, ada website khusus pengisi survey. Sistemnya barter survey, jadi kalau ada orang yang post surveynya disitu, orang tersebut juga harus mengisi survey orang lain yang sesuai dengan kelompok dia. Menurut gue hal ini win-win solution yang sangat menarik. Selain itu, ada juga grup-grup Facebook yang menawarkan hal yang sama.


Begitulah beberapa kekuatiran gue tentang tweet survey yang belakangan ini sangat populer di Twitter. Poin-poin ini bisa jadi pertimbangan kamu dalam memutuskan mengisi sebuah survey. Semoga di kemudian hari, masyarakat kita bisa jauh lebih kritis dalam mengelola data pribadi di ranah virtual dan tidak memberi data pribadi untuk sembarang orang.

2 komentar pada “Tentang Survey di Twitter”

  1. Bener banget nih. Gue liat-liat juga survey-survey dari para mahasiswa tingkat akhir yg seliweran di twitter itu kaya ga jelas juga juntrungannya, kaya ga mau susah. Namanya mau survey kan harus mau susah dan detail ya, ga bisa main asal sebar jebret di twitter.

    Gue pribadi sih malah selalu jadi males karena kadang gue bingung apa gue termasuk sasaran responden apa bukan

    Suka

    1. Nah iya ini. Jadi inget dulu gue nyebar survey juga bersusah-susah karena gue pengen tahu si responden gue itu cocok atau gak dengan penelitian gue. Di Facebook sebenernya ada kok grup2 buat orang yang suka isi survey, di Reddit juga ada.

      Suka

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.