Sejak kecil, gue sering melihat pajangan yang digantung di dinding rumah berisi sajak kecil yang bunyinya sebagai berikut:
God, grant me the serenity to accept the things I cannot change,
Courage to change the things I can,
and wisdom to know the difference.
Dulu sih gue nggak ngerti maksud dari sajak kecil tersebut. Seiring dewasa, barulah gue paham arti sebenarnya dari pajangan rumah yang gue lihat sejak kecil itu.
Dalam hidup kita, ada banyak sekali hal yang tidak sesuai dengan kemauan kita. Sudah hal yang normal bahwa kita ingin mengubah hal-hal tersebut menjadi hal-hal yang sesuai dengan jalan pemikiran dan yang ‘ideal’ menurut kita. Tapi sayangnya, seiring waktu kita juga dihadapkan pada fakta bahwa kita nggak bisa mengubah hal-hal tersebut, dan alih-alih mengubah mereka, kita harus memahami keterbatasan kita.
Karena gue selalu berusaha jujur di blog gue, maka gue akan cerita hal yang tidak bisa gue ubah: sikap orangtua gue terutama bokap. Mungkin di mata orang lain, orangtua gue bisa dikategorikan sebagai orangtua gaul dan idaman anak-anak. Tapi menurut gue, sifat orangtua gue masih banyak sekali kekurangannya.
Salah satu contohnya adalah salah satu dari mereka nggak ngerti bedanya mana hal yang harus dipendam sendiri, mana yang boleh diceritakan ke orang lain. Gue adalah tipe orang yang nggak suka pamer tentang target pribadi gue karena gue nggak mau punya perasaan ‘ditagih’ oleh lingkungan kalau-kalau target gue meleset. Tapi bokap gue baru aja maksa gue untuk bocorin tentang target hidup gue dan pas gue bilang gue nggak suka cerita target hidup gue ke orang lain, dia bilang, “Lho, kan aku bukan orang lain”. Hal ini bikin gue agak jengkel karena gue berharap seandainya orangtua gue tahu batas, mana pertanyaan yang boleh dan gak boleh ditanyakan. Gue udah gede lho, punya pemikiran sendiri, tanggung dosa sendiri (kalo kata agama Kristen), maka sudah sepantasnya mereka anggap gue orang dewasa yang punya batas-batas pribadi dan publik. Beda kalau gue masih ada di umur adik-adik gue yang masih kuliah, mungkin mereka masih merasa punya tanggungjawab untuk mengetahui isi kepala adik-adik gue.
Contoh tersebut menggambarkan betapa sulitnya gue untuk menerima hal-hal yang tidak bisa gue ubah. Alih-alih meyakinkan diri sendiri bahwa I owe them no explanation, gue malah ‘menyalahkan’ diri sendiri karena gue berpikir gue ‘cukup aneh’ untuk berpikir dan berperilaku seperti ini. It’s like I’m afraid to own my personality and to embrace the darker side of me.
Tulisan ini dibuat di hari gue bertambah umur. Di usia yang baru ini, gue berharap bahwa gue semakin bisa memahami konsep gue nggak bisa mengubah hal-hal tertentu jadi sesuai kemauan gue. Ini akan gue anggap sebagai perjalanan spiritual gue, dan gue akan belajar dari hari ke hari. Niscaya gue akan semakin memahami konsep ini dan mulai bersikap selow untuk hal-hal yang nggak bisa gue ubah. This is my life, my journey, my process, and I don’t owe anyone any explanation on why I do, think, and say certain things. I hope I get to the end of this journey safe and sound.