Sebenernya gue sudah lama banget kepingin menulis tentang tema yang satu ini, tapi selalu mandek karena awalnya gue merasa ini mungkin perasaan gue doang yang merasa selalu di-bully keluarga karena bentuk tubuh gue. Tapi setelah liburan ke Indonesia kemarin dan ketemu keluarga lagi setelah setahun nggak ketemu, barulah gue memberanikan diri untuk mengupas tentang body positivity dan body shaming secara panjang lebar karena ternyata perasaan gue selama ini tuh benar adanya.
Tahun 2019 ini sebenarnya ada sedikit transformasi dalam diri gue yaitu gue jadi lebih positif dalam memandang tubuh gue sendiri. Ini semua karena kunjungan bokap bulan April lalu dan dia tak henti-hentinya komentar gue “gemuk banget sih!”. Sejak doi balik ke Indo, gue mulai mengevaluasi diri dan pola makan gue, dan gue baru sadar bahwa pola makan gue sangat buruk. Maka itu, gue memulai diet secara pelan-pelan, awalnya sih buat membuktikan ke keluarga bahwa gue bisa kok, menurunkan berat badan.
Setelah mencari-cari diet yang cocok dengan tubuh gue, pilihan gue jatuh pada diet calorie restriction. Tiga bulan pertama beneran susah banget buat gue. Rasanya sedih banget berpisah dengan croissant untuk makan pagi dan menggantinya dengan dua buah jeruk. Sedih juga mengganti mie instan dengan roti tawar keju untuk makan siang tiap hari. Tapi gue seneng karena gue bisa makan berat tiap makan malam, dan gue menyempatkan untuk cheat day seminggu sekali (biasanya di akhir minggu). Gue juga mulai berkenalan dengan protein nabati sebagai pengganti daging dan belajar makan salad.
Delapan bulan telah berlalu sejak gue memulai diet calorie restriction dan sekarang, ini adalah pola makan gue, bukan diet lagi. Gue merasa lebih senang, lebih puas dengan hidup, dan berat badan gue sejauh ini sudah turun 6 kg (4 kg lagi menuju target berat badan). Rencananya, saat berat gue sudah berada di angka target, gue akan terus makan dengan metode ini dengan tujuan untuk menjaga berat badan gue.
Pas gue di Indonesia, bokap memang memuji proporsi badan gue yang menurutnya “sudah bagus”, tapi malah si R yang kena getahnya. Si R tuh kan belum ketemu siapa-siapa selain bokap gue. Tapi pas dia ke Jakarta, seluruh keluarga langsung tahu bahwa dia “pernah kurus”, dan langsung body shaming dia. Apalagi bokap pernah ketemu R waktu dia kurus dulu, jadi beliaulah yang “ngomporin” anggota keluarga lain dengan bilang, “Dulu pas gue pertama ketemu pacarnya Crystal, dia lebih kurus dari gue lho! Seriusan!”.
Awalnya, gue menanggapi celotehan body shaming ini dengan kepala dingin. Namanya juga keluarga Asia, apa sih yang nggak dikomentarin? Tapi lama-lama kok gue berpikir ini malah jadi cercaan dan ejekan, ya? Apalagi karena hal ini terus-terusan diutarakan anggota keluarga gue terhadap R. Sedikit-sedikit ada aja yang bilang, “Kok kamu gemuk banget sih, padahal dulu kurus? Dikasih makan apa sama Crystal?”. Walaupun tindakan mereka nggak sampe melarang R makan makanan tertentu selama kami di Jakarta, tapi kata-kata mereka tuh bikin sakit hati lho. Mungkin R merasa sakit hati karena bentuk tubuhnya langsung dicerca padahal baru pertama bertemu mereka, tapi sakitnya gue dua kali lipat. Gue merasa sakit hati oleh kata-kata keluarga gue, dan gue juga merasa gagal melindungi R dari serangan body shaming dari mereka. Selain sakit hati dan gagal, gue juga merasa malu. Mulutnya orang-orang ini kok malah beda jauh ya dari klaim mereka yang katanya terpelajar, katanya punya network orang terpandang, katanya sering ke luar negeri?
Padahal, di hari-hari pertama, gue udah semangat lho cerita ke bokap nyokap gue tentang pola makan kami yang berubah. Selama beberapa hari pertama di Jakarta, gue berusaha memberikan pandangan bahwa JANGAN DILIHAT BENTUK BADANNYA, TAPI DILIHAT POLA MAKANNYA. Tapi kayaknya celotehan gue nggak dianggap deh sama mereka, terutama oleh orangtua gue. Ini termasuk nyokap tiri gue yang doyan olahraga tiap pagi dan suka jaga pola makan, lho. Cerita ‘bagaimana kami mengubah pola makan jadi lebih sehat’ gue nggak guna, mereka tetep nanya terus tentang kenapa R jadi gemuk banget dalam waktu 3 tahun.
(Bayangin aja, lagi random gak ada angin gak ada hujan, we’re doing our own thing, tiba-tiba bokap ngomong, “Heran gue, kok pacar lo bisa segemuk itu sih? Lo kasih makan apa sih?” BEGITU TERUS, SELAMA GUE MENGINAP DI RUMAHNYA. Apa nggak eneg dan bosen?)
Seminggu bersama keluarga yang doyan body shaming di Indonesia bikin gue semakin sadar bahwa keluarga di kota besar Indonesia tuh banyak sekali standar gandanya, termasuk tentang berat badan seseorang. Emangnya mereka nggak pernah liat orang gemuk, ya? Liat orang gemuk baru kenal kok, langsung diomongin dan seolah jadi berita besar? Mereka nggak sadar ya, jajanan kekinian di kota besar Indonesia itu jauh lebih nggak sehat daripada di Belanda? Di Eropa secara umum sekarang sedang ramai kampanye makanan sehat dan rendah kalori bersamaan dengan trend veganisme. Disini, tempat jajan sehat bertebaran dimana-mana, mulai dari juice bar, restoran poke bowl, warung-warung smoothie bar, restoran vegan/vegetarian, bahkan banyak merek makanan mengeluarkan jajaran snack rendah kalori, rendah gula, tinggi protein, semua bisa ditemukan di supermarket. Lha, sementara itu, di kota besar Indonesia, jajanan yang ngetop adalah jajanan kekinian yang penuh dengan gula, lemak, dan garam. Contohnya adalah kopi-kopi kekinian yang ada di setiap pengkolan jalan dan gerai boba yang makin hari makin menjamur. Sepertinya masyarakat kota besar Indonesia nggak mau tahu tentang itu, jadi jajan boba dan kopi kekinian jalan terus, tapi kalau lihat orang gemuk, diomonginnya kayak orang gemuk itu dosa besar yang nggak bisa dihapus.
Yang harus orang Indonesia tahu mengenai gemuk dan kurus adalah: BERAT BADAN SESEORANG TUH, BUKAN URUSAN LO. JADI NGGAK USAH DITANYA-TANYA, DIKOMENTARI, APALAGI DIKATAIN. Seseorang bisa aja gemuk tapi dia bahagia dengan berat badannya. Seseorang bisa aja kurus tapi dia sebenernya sedang berjuang untuk menambah berat badan. Everyone has their own struggles. Sudah saatnya melihat orang lain dari kacamata obyektif, bukan dinilai dari berapa berat badannya!
Segitu aja ranting gue tentang menjadi orang dengan prinsip body positivity di tengah keluarga yang doyan body shaming. Beruntung sekali gue sudah 12 ribu km jauhnya dari bacotan orang-orang itu, jadi paling tidak gue dan R bisa kembali ke pola makan dan pola hidup kami secara normal. Lain kali, kalau gue balik ke Indonesia dan kalau mereka menilai R masih gemuk, siap-siap aja gue hajar pake Mjollnir-nya Thor. Gue nggak akan ragu-ragu “ngejawab” orang-orang yang mulutnya nggak disekolahin seperti itu. Biar pada mingkem semuanya!
Ini tuh masalah di Asia Tenggara (terutama Indonesia) banget ya kayanya. Komentar pertama selalu ditujukan ke badan. Kenapa kayanya susah banget untuk komentar hal lain gitu, atau ga usah komentar sekalian
SukaSuka
Iya. Mulut disuruh mingkem aja kok susah banget ya. Pada suka banget berkomentar bukan pada tempatnya. Sama orang yang baru kenal pula.
SukaSuka
Banyak bikin kesalnya ya…kepekaan itu nggak selalu berbanding lurus dengan pendidikan, sih.
Kalau buat saya yang penting badan sehat..orang mau komentar apa… hempaskan..wkwk
SukaSuka
Iya, seminggu terakhir di Jakarta, rasanya pengen pulang aja. Begitu aku di airport menuju Belanda rasanya bahagia sekali.
SukaSuka
Astaga… Mulut pada jebol nggak ada remnya.
Kirain standar ganda orang di kota besar macam Jakarta nggak separah orang di kota kecil. Ternyata sama aja, ya? Jadi curiga ini tipe-tipe Asian boomers, soalnya lumayan sering ketemu yang model begini.
SukaSuka
Sama aja kayaknya dimana2. Ngga wajar tapi diwajarkan sama masyarakat.
SukaSuka