Tiga hari belakangan, dunia gue seolah berputar tidak mengikuti rotasinya seperti biasa.
Gue kehilangan seseorang.
Hari Rabu lalu, gue terbangun dengan SMS dari adik, “Opa sakit lagi. Dia panggil-panggil orang di tidurnya”. Yang hanya gue balas dengan, “Dia di rumah, kan?”
Gue bertanya itu karena dua hal. Pertama, gue berpikir “mungkin ini serangan biasa”. Tapi di hati kecil gue, gue tahu ada yang nggak beres. Gue teringat permintaan dia: jika dia harus pergi, dia ingin mangkat di rumah, bukan di rumah sakit. Dia nggak mau harus berjibaku dengan selang-selang dan alat-alat menakutkan di sekitar ranjangnya.
Beberapa jam kemudian, saat gue sedang sibuk bekerja dan ngurusin printilan hajatan gue di saat yang sama (hidup multitasking!), bokap tiba-tiba video call. Nggak gue jawab, karena gue sedang sibuk di ponsel juga. Kemudian beberapa detik kemudian dia mengirim pesan di Whatsapp, cukup satu kalimat, “Opa sudah meninggal, ya.”
Kalut? Enggak. Panik? Enggak juga. Selama sepersekian detik, gue mempertanyakan diri gue sendiri. Apakah gue segitu nggak punya empati? Apakah gue segitu heartless? Kenapa gue tidak kaget dan break down seperti orang lain?
Lalu gue langsung menelepon bokap via Whatsapp. Suaranya terdengar lelah. Nadanya pun datar dan pasrah. Gue paham, betul-betul paham. Dia adalah anak lelaki satu-satunya dan yang paling dekat dengan opa. Dia juga yang selalu menegur gue kenapa gue nggak terlalu dekat dengan keluarga, terutama dengan opa. I have my own reasons for this.
Gue menutup telepon, lalu terdiam sejenak. “Oke, ini akan jadi baik-baik saja,” gue berpikir kepada diri sendiri. Gue menoleh ke arah agenda penuh dengan to-do list dan berencana untuk menyelesaikan tugas-tugas gue tepat waktu, dengan pikiran bahwa perasaan ini bisa gue kunjungi kembali setelah jam bekerja usai.
Tapi… enggak bisa, lho. Gue terus merasa sulit berkonsentrasi. Menulis e-mail pun nggak bisa. Dalam hati gue mulai panik. What the hell is going on with me? Ditambah lagi dengan notifikasi pesan yang terus-terusan berbunyi, mengabarkan “Opa sudah meninggal” (yang gue jawab dengan singkat, “Ya, ya, udah tau.”). Bikin gue semakin sulit fokus di pekerjaan gue.
Berikut adalah hal-hal pertama yang gue lakukan untuk mengurangi banjir informasi tentang berita duka, berdasarkan insting gue dalam menghadapi kedukaan:
- Unfollow seluruh anggota keluarga dari Facebook. Gue nggak suka lihat foto jenasah, apalagi jenasah anggota keluarga sendiri. Pada tahu kan, kebiasaan orang kita foto-foto depan jenasah, lalu diunggah ke media sosial?
- Mematikan notifikasi Whatsapp dan berbagai aplikasi chat lainnya.
- Uninstall Instagram.
- Mengirim pesan ke adik-adik, mengabarkan bahwa gue akan radio silence. My grief process is probably different than theirs.
Setelah melakukan hal-hal tersebut, gue menghela nafas. Gue sudah siap. The grief restarts now.
Terakhir kali gue berduka adalah sekitar dua tahun lalu, saat Nini meninggal. Saat itu, selama enam bulan pertama, hidup gue berjalan biasa saja. Namun, lama-lama gue menemukan diri gue sering menangis tanpa sebab. Long story short, gue akhirnya mengerti dan merelakan proses grieving gue saat itu, yang ternyata baru dimulai enam bulan setelah beliau tiada. Kini gue nggak nangis lagi setiap ingat Nini, dan selalu ingat memori manis dengan beliau setiap kali gue rindu dia.
Kali ini sedikit berbeda. Gue merasakan emosi meletup-letup selama tiga hari belakangan. Kalau nggak sedih, kosong, pasti menangis. Dan anehnya, gue sama sekali tidak merasa menyesal.
Gue tidak menyesal untuk masa-masa dimana gue tidak dekat dengan opa. Lha, bahkan saat gue terakhir pulang ke Indonesia, dia nggak mau ketemu gue dan R karena satu dan lain hal. Sampai gue balik ke Belanda pun, sikapnya masih dingin. Kami tidak pernah bicara lagi sejak itu. Gue mencoba Whatsapp dia saat Natal, Tahun Baru, dan saat ulangtahunnya bulan lalu dan nggak pernah dijawab. Tapi anehnya, gue nggak nyesel dengan kejadian-kejadian ini. It’s like I have accepted these things to happen.
Tau nggak, kenapa gue menangis? Gue menangis karena mengingat hal-hal menyenangkan yang kami alami bersama. Rasanya senang membawa memori kembali ke masa-masa itu. Dulu ada kalanya gue sering menemani dia suntik wajah (semacam botoks untuk mengurangi kedutan akibat stroke) selama seharian penuh di Singapura.
Gue pun teringat kebiasaan makannya yang terlampau sehat; selalu ikan dan hasil laut dan tidak suka makanan bergaram. Memori-memori lain mulai berdatangan, seperti kesukaan dia mengajak gue main di Timezone saat SD atau membiarkan gue memutar kaset artis pop terkini di mobilnya saat kami jalan-jalan berdua.
Kondisi opa memburuk enam tahun yang lalu, setahun sebelum keberangkatan gue ke Belanda. Pada saat itu, oma gue sudah menangis meraung-raung, nggak rela beliau pergi. Gue kemudian berjanji dua hal pada diri sendiri: 1) Gue nggak mau melihat oma menangis seperti itu lagi, dan 2) Gue harus merelakan jika suatu saat opa meninggal dan gue tidak bisa ada disana.
Sejak anfal opa tahun 2014, hidup di Indonesia tidak sama lagi. Perlahan, sofa di ruang TV diganti menjadi ranjang, hembusan nafas harus sesekali dibantu tabung oksigen, dan tongkat jalan perlahan berubah menjadi kursi roda. Seolah dia mempersiapkan seluruh anggota keluarga untuk titik balik ini.
Sepertinya gue sudah melatih diri sendiri selama lima tahun belakangan ini. Gue sudah melatih diri untuk tidak menyesal. Melatih diri untuk merelakan jikalau gue tidak bisa kumpul bersama anggota keluarga lainnya untuk mengantar beliau ke tempat peristirahatan terakhir. Dan akhirnya, semuanya terjadi, sesuai apa yang gue janjikan ke diri sendiri. Menyesal? Tidak sama sekali.
Tidak seperti anggota keluarga lain yang menyiarkan kabar duka secara langsung, gue memilih untuk memproses semuanya dalam diam. Butuh tiga hari untuk gue memberanikan diri menulis tentang kematian opa dan proses kedukaan gue seperti ini. Sekarang gue sudah merelakan diri bahwa gue sedang menjalani masa-masa kedukaan, tidak bertanya-tanya kenapa begini, kenapa begitu lagi.
Kedukaan menurut gue adalah jalan panjang yang sangat sepi. Tidak peduli berapa ucapan “turut berdukacita” yang kamu terima, tetap saja di akhir hari, kamu harus menjalaninya sendirian. Dan emosi meletup-letup itu bisa muncul kapan saja, entah itu tiga hari kemudian atau enam bulan kemudian. Yang harus kita lakukan adalah just go with it and try to enjoy the ride. Suatu saat akan ada masanya ketika kita melihat ke belakang dan alih-alih menangis, kita malah tersenyum.
Untuk opa, terimakasih untuk hari-harinya di dunia ini. I release you wholeheartedly, and when I think of you, it will always be about good memories, never the bad ones.
Seperti ada yang mengupas bawang merah setelah membaca tulisan ini. Sterkte Crystal!
SukaSuka
Makasi mbak Deny 🌿
SukaSuka
Turut berduka cita ya Crys, maaf terlambat bacanya. Memang proses mourning tiap orang beda-beda. Aku juga pernah mengalami hal yang sama ketika ada teman yang meninggal, tidak merasa apa apa, ataupun menangis walaupun kami juga lumayan dekat pas dengar kabar kalau dia meninggal.
Gelombang “Perasaan”nya baru datang berbulan2 setelahnya dan setelah itu baru berasa bisa kembali ke normalitas lagi.
SukaSuka
Makasih mbak Eva. Itu juga butuh 3 hari buat aku merenung dan akhirnya memutuskan buat nulis memoriam ini. Sekarang kadang2 masih suka ingat opa, apalagi kalo liat pasangan kakek nenek di jalan, tapi aku berusaha enjoy perasaan timbul tenggelam itu.
SukaSuka
Ikut berduka cita ya.
Maaf. Baru baca cerita ini.
SukaSuka
Makasi 🙂
SukaSuka