Sudah beberapa minggu belakangan, dunia internet kedatangan media sosial baru. Aplikasi voice chat bernama Clubhouse. Untuk saat ini, aplikasi ini hanya bisa diakses lewat undangan dan hanya terbatas untuk pengguna iOS (iPhone dan iPad) saja. Di tulisan ini, gue mau menjabarkan pengalaman gue menjadi pengguna aplikasi Clubhouse.
Kenapa sih Clubhouse populer?
Clubhouse mulai populer saat Elon Musk menggunakan aplikasi ini untuk ngobrol. Konsep Clubhouse sendiri mengingatkan gue dengan konsep ngobrol di radio jaman dulu.
Dalam Clubhouse, kamu bisa masuk ke berbagai ruang dengan beragam topik. Dalam sebuah ruang, ada beberapa orang moderator. Begitu kamu masuk ruang tersebut, kamu masuk sebagai pendengar, yang tandanya kamu nggak bisa ngomong. Jika kamu mau ikutan ngobrol, kamu harus pencet ikon “raised hands” dan moderator akan mengundang kamu untuk menjadi speaker. Jika kamu sudah selesai ngomong, kamu bisa kembali ke audiens sebagai pendengar atau tetap di daftar speaker.
Kedengarannya seperti podcast dua arah juga kali, ya. Hal ini yang membuat orang tertarik masuk Clubhouse. Banyak ruang yang berfungsi seperti “talkshow” khusus beberapa moderator yang bisa ngobrol (sisanya hanya jadi pendengar), namun ada juga ruang-ruang yang konsepnya seperti siaran radio, jadi obrolannya lebih lancar dan semua orang bisa jadi speaker.
Pengalaman Pertama Pakai Clubhouse
Sebenarnya gue adalah pendatang baru dalam aplikasi Clubhouse. Ini juga berawal dari iseng-iseng berhadiah. Karena ponsel gue android, maka gue mengunduh Clubhouse di iPad.
Registrasi Clubhouse cukup sederhana. Setelah aplikasi ini diunduh di ponsel/tabletmu, kamu cukup verifikasi nomor telepon, mengetik nama lengkap, menyertakan foto, lalu memilih beberapa topik yang kamu suka. Algoritma Clubhouse kemudian akan mengolah pilihan-pilihan tersebut menjadi ruang-ruang yang muncul di halaman utama Clubhouse kamu. Cara lain untuk kurasi ruang ngobrol adalah dengan cara follow orang-orang yang kamu suka atau yang cocok denganmu. Semakin banyak orang yang kamu follow, semakin banyak juga room suggestion di home kamu.
Awalnya gue sempat kebingungan tentang bagaimana cara menggunakan aplikasi ini. Untungnya, fase kebingungan itu hanya berlangsung selama beberapa jam. Setelah mengetahui gimana cara orang “menjual” persona mereka di Clubhouse, maka gue pun menjual persona sebagai ilustrator dan blogger. Yep, sejak masuk Clubhouse, gue sudah menentukan tujuan yaitu untuk berjejaring, mencari ilmu, syukur-syukur dapat calon klien untuk brand Arunika Art. Hasilnya lumayan sih, sejauh ini gue sudah dapat banyak kenalan.
Beberapa hari di Clubhouse, gue sudah join beberapa ruangan yang khusus ngomongin marketing, media sosial, diaspora Asia di Eropa, dan ada juga ruangan khusus diaspora Indonesia di seluruh dunia (yang obrolannya gak habis-habis selama 24 jam). Ada juga lho ruangan ngobrol yang serius macam ruangan diskusi Covid-19. Selain itu, ada juga ruangan silent, tempat orang bisa kepo biodata masing-masing pengguna untuk tujuan berjejaring atau nambah teman.
Beberapa yang menarik di Clubhouse
Minggu ini tepat satu minggu gue berada di Clubhouse. Selama satu minggu ini, gue menemukan banyak sekali kesan-kesan dan pelajaran di Clubhouse, seperti beberapa poin berikut.
Penulisan Biodata
Seperti yang gue jelaskan di awal, Clubhouse adalah media sosial tempat orang-orang apapun tujuannya berkumpul. Salah satu cara mengetahui tujuan mereka masuk Clubhouse adalah dengan cara mengecek biodata mereka, supaya kita bisa memutuskan mau follow atau nggak.
Gue menemukan ada fenomena menarik di kalangan pengguna Clubhouse (baik yang tinggal di Indonesia maupun di luar negeri) dalam cara penulisan biodata mereka. Banyak pengguna biodata Clubhouse yang menjadikan biodata mereka seperti di LinkedIn. Semuanya dijabarkan secara blak-blakan mulai dari jabatan/posisi, kantor, bekas kantor, dan prestasi mereka. Tapi nggak ada yang nulis tujuan mereka ikutan Clubhouse. Jadi untuk gue, biodata seperti ini hanya jadi ajang flexing pencapaian dan name-dropping saja. (Maaf lho ya kalau kedengarannya kasar).
Menurut gue penulisan biodata yang benar adalah selain kita menuliskan pekerjaan/posisi dan pencapaian, kita juga menuliskan alasan kita membuka akun Clubhouse. Entah itu untuk berjejaring, menjadi moderator, menjadi narasumber, membantu sesama pengguna Clubhouse, atau mencari teman.
Jadi, penulisan biodata itu penting banget! Kalau kamu memutuskan untuk buka akun Clubhouse, banyak kok room khusus pengguna baru tempat kalian bisa belajar gimana cara mengoptimalkan Clubhouse menjadi media sosial yang berbuah baik.
Trolls
Nggak ubahnya media sosial yang lain, Clubhouse mulai banyak troll, alias mereka yang minta izin jadi speaker, namun begitu diizinkan jadi speaker dan bertanya, pertanyaan/komentarnya malah nggak nyambung atau berusaha meleber ke topik lain. Ada juga beberapa ruangan yang mendefinisikan trolls sebagai pengguna baru yang room hopping di Clubhouse, nggak punya biodata dan foto diri, lalu menjadi speaker dan ngomong hal-hal yang aneh.
Untungnya, moderator punya kekuasaan penuh atas sebuah room. Jika kita menemukan trolls, para moderator bisa kick trolls tersebut untuk kembali ke daftar pendengar. Moderator juga bisa mengubah setting sebuah ruangan untuk membatasi jumlah speaker yang diundang.
Memilah-milah privasi
Poin terakhir ini penting sekali menurut gue. Sebagai pengguna baru Clubhouse, tentu kita akan sangat tergiur untuk menuliskan jati diri kita 100% di biodata. Bahkan sejak awal sign-up, Clubhouse sudah menyarankan penggunanya untuk memakai foto asli dan menuliskan nama depan dan belakang.
Lagi-lagi, sebagai pengguna media sosial, kita harus jadi orang yang bijak dalam menentukan batasan kita. Apa saja sih bagian dari identitas kita yang mau disebarkan ke publik? OK nggak jika kita menuliskan afiliasi kita terhadap perusahaan/brand tertentu? Semuanya kembali ke kita sebagai pengguna Clubhouse, mau sejauh apa menyebarkan pribadi kita, sesuai dengan tujuan kita menggunakan aplikasi ini. Walaupun begitu, usahakan biodata kita harus as human as possible untuk menunjukkan kita juga manusia biasa.
Selain memilih apa yang mau disebarkan di biodata, memilah-milah apa yang mau dikatakan di sebuah room juga penting banget. Karena sifat room di Clubhouse ini live, penting bagi kita untuk think before we speak. Di Clubhouse ini, pepatah “mulutmu harimaumu” bisa banget terjadi. Gue sudah mendengar banyak kisah pengguna Clubhouse di beberapa ruangan yang kadung blunder dengan pekerjaan, gaji, dan afiliasi perusahaannya. Kemarin di salah satu ruangan Clubhouse, gue tak sengaja mendengar cerita seorang moderator yang mengaku status pernikahannya di negara domisilinya nggak akan diakui di Indonesia karena dia sudah menikah dengan sesama jenis. Maksud gue, lo kan nggak tahu siapa aja yang mendengar cerita lo di ruangan tersebut. Jangan mentang-mentang sudah sering keluar masuk room tersebut dan ngobrol sama anggotanya, kamu jadi merasa sudah dekat sampai bisa bercerita tentang hal yang belum tentu bisa diterima orang lain. Bisa jadi ada yang nggak suka dan akhirnya pekerjaan atau status lo bisa terancam. Ya kan?
Penutup
Sejauh ini, gue mendapatkan efek positif dari Clubhouse. Media sosial ini adalah tempat baru untuk gue bertemu orang-orang yang sepemahaman, sepikir, dan dari profesi yang sama. Kapan-kapan, jika gue sudah lebih lama menggunakan Clubhouse, mungkin gue bisa menulis lebih lanjut tentang platform ini.
Bagi yang punya Clubhouse dan mau follow gue, sila follow di akun @currytalks. Sampai jumpa di Clubhouse!