Korban Diskriminasi Bahasa

Tulisan ini cukup panjang, jadi siapkan waktu yang cukup untuk baca, ya!

Sebenarnya gue agak ragu untuk menuliskan pengalaman buruk gue ini. Tapi akhirnya gue putuskan untuk gue tulis juga, karena gue ingin berbagi pengalaman dengan kalian para pembaca, dan untuk mengingatkan kalian bahwa just because something bad is seen as “normal”, doesn’t mean you can’t fight against it.

Awal Cerita

Sekitar satu minggu lalu, gue iseng-iseng mencari lowongan kerja. Nggak ada niatan pindah kerja, sih. Cukup pingin tahu aja, kemampuan wawancara gue masih bagus atau perlu diasah. Kemudian di LinkedIn, gue menemukan lowongan kerja dari sebuah perusahaan rekrutmen. Mereka mencari seseorang untuk ditempatkan di perusahaan e-mail marketing sebagai Community and Content Coordinator.

Melihat tajuk pekerjaan yang menarik, akhirnya gue mengklik lowongan tersebut dan membaca keterangannya dari awal sampai akhir. “Wah, cocok nih,” pikir gue. Apalagi saat gue baca di bagian Job Requirements-nya, mereka butuh tenaga kerja yang fasih berbahasa Inggris (kemampuan berbahasa Jerman dan Belanda dianggap nilai tambah). Jadi nggak butuh-butuh amat bisa bahasa Jerman atau Belanda.

Cukup percaya diri dengan kemampuan dan pengalaman kerja gue, akhirnya gue melamar di portal rekrutmen tersebut.

Butuh “Penutur Asli”

Hari Selasa minggu ini, ketika gue membuka email pribadi saat istirahat kerja, bertengger sebuah email dari orang yang tidak gue kenal. Judul emailnya hanya “Application“.

Ketika gue buka, ternyata dia adalah rekruter di perusahaan rekrutmen tempat gue melamar minggu lalu. Email dia cukup singkat, hanya berbunyi seperti ini (diterjemahkan ke bahasa Indonesia), “Halo Crystal, terimakasih atas aplikasi anda. Saya mencari kandidat penutur asli bahasa Inggris dari Inggris atau Amerika. Apakah bahasa ibu anda?”.

Gue hanya menjawab lugas, “Bahasa ibu saya adalah bahasa Indonesia. Namun, kemampuan berbahasa Inggris saya sudah di tingkat hampir penutur asli (near native) dan dwibahasa.” Saat gue membalas email tersebut, gue nggak mikir yang aneh-aneh. Dulu, saat gue masih kerja di kursus bahasa Inggris di Jakarta, mereka juga membutuhkan tenaga kerja penutur asli bahasa Inggris.

Beberapa jam kemudian, si rekruter ini membalas email gue dengan sesuatu yang benar-benar mengagetkan. Jawaban dia begini, “Halo Crystal, terimakasih atas jawaban anda. Sayangnya, saya membutuhkan penutur asli bahasa Inggris.

Kepala gue langsung pusing. Walaupun email itu ada embel-embelnya, kalimat basa-basi seperti “Jika anda menemukan lowongan kerja lain yang menarik dari website kami, tolong kabari saya”, semuanya jadi nggak fokus. Tenggorokan gue langsung tercekat, nafas memburu, dan satu pertanyaan langsung muncul di otak, “Did I just become a victim of discrimination?

Apa yang gue rasakan dan lakukan?

Kamu tahu kan, detik-detik pertama jika kamu jadi korban pelecehan seksual seperti catcalling? Jika tidak sering menjadi korban, korban catcalling akan bengong sejenak, sibuk mencerna apa yang barusan terjadi, siapa yang melecehkan dia secara verbal, dll. Hal yang sama terjadi ketika kamu jadi korban diskriminasi. Selama sepersekian detik, gue bengong, sibuk menimbang-nimbang ini jenis diskriminasi seperti apa. Gue nggak percaya bahwa ini terjadi kepada gue. Sepanjang karir gue di Belanda, tidak pernah ada rekruter atau HR perusahaan yang menanyakan pertanyaan tidak sensitif seperti ini.

Satu jam kemudian, setelah banyak Googling dan marah-marah, (ya iya lah, nggak terima gue), akhirnya gue menulis email balasan yang luar biasa panjang ke rekruter tersebut. Gue baru tahu, bahwa di pasal 1 undang-undang Belanda, dinyatakan jelas bahwa segala bentuk ketidakadilan atau diskriminasi dilarang secara hukum. Pasal ini gue tulis tautannya di email balasan gue. Gue pun menulis, di Job Requirement lowongan kerja, mereka menulis “Fasih berbahasa Inggris” (walaupun akhirnya ketahuan bahwa mereka lebih memilih penutur asli bahasa Inggris). Yang terakhir, gue menulis bahwa yang barusan dia lakukan adalah bentuk diskriminasi. Seseorang tidak bisa dinilai level bahasanya dari tempat lahir mereka. Jaman sekarang, garis batas antara penutur asli dan bukan penutur asli itu tipis sekali.

Yang bikin gue berpikir, apakah dasar mereka menutup pintu untuk bukan penutur asli bahasa Inggris untuk melamar posisi tersebut? Mereka lupa ya, mereka perusahaan Belanda, klien mereka juga di Belanda, maka kemungkinan besar yang melamar adalah orang Belanda yang jelas-jelas bukan penutur asli bahasa Inggris. Apakah ini hanya trik mereka untuk menyaring nama-nama berbau Eropa/Inggris saja? Kalau begitu, bisa jadi ujung-ujungnya rasisme.

Berdasarkan riset dari Google, gue juga menemukan beberapa langkah yang bisa diambil untuk melaporkan tindak diskriminasi. Rupanya ada website khusus pelaporan tindak diskriminasi dengan nama Discriminatie Punt. Di website ini kita bisa melaporkan kejadian diskriminatif dan laporan kita akan dilempar ke regio tempat tinggal kita. Satu hari setelah gue melaporkan kejadian ini, gue ditelepon seseorang dari pusat anti-diskriminasi kota gue. Mereka menjelaskan bahwa jika perusahaan tersebut bertindak lebih “songong”, mereka bisa bantu gue melaporkan tindak diskriminasi ini ke pihak berwajib.

Selain melapor ke Discriminatie Punt, hal lain yang gue lakukan adalah melaporkan kejadian ini langsung ke perusahaan rekrutmen tersebut. Di website mereka rupanya ada hotline pusat komplain. Gue disuruh menulis email ke alamat di website dan gue harus menjelaskan duduk perkara sejelas-jelasnya, menyertakan barang bukti (jika ada), nama pegawai dan posisi pegawai. Komplain gue akan diproses dan dijawab selambat-lambatnya lima hari kerja.

Blunder tapi nggak tahu malu

Kemarin, setelah melaporkan tindak diskriminasi ini ke Discriminatie Punt dan hotline perusahaan rekrutmen, si rekruter mengirim email balasan ke alamat email gue.

Alih-alih meminta maaf secara personal, dia malah menulis seperti ini, “Halo Crystal, jika level bahasa Inggris anda cukup baik atau lebih baik dari penutur asli bahasa Inggris, it’s OK. Tolong beritahu saya kapan anda bisa interview, saya bisa menelepon anda berdasarkan waktu bebas anda”.

Lah mbaknya kok nggak tahu malu banget? Bukannya minta maaf kok malah jadi jiper ngajak gue wawancara? Gue sih ogah ya, karena ini kelihatan banget cara si rekruter melakukan damage control. Seolah-olah dia mengajak gue wawancara hanya karena kasihan, atau karena ketahuan sudah bersikap diskriminatif. Mungkin juga email komplain gue sudah dibaca oleh departemen yang bersangkutan, dan dia lagi kebakaran jenggot. Terlihat sekali email dia ditulis secara buru-buru karena banyak kesalahan penulisan kata dimana-mana.

Gue tahu, gue punya dua pilihan: menjawab email ini dengan songong, atau dengan bahasa profesional (tapi tetep nyindir). Keeesokan harinya (hari ini), gue menjawab email si rekruter seperti ini:

Halo Rekruter Diskriminatif (bukan nama sebenarnya),

Terimakasih atas kesempatannya, namun saya harus menolak undangan wawancara dari anda.

Setelah banyak berpikir dan berkaca dari percakapan di e-mail terdahulu, sudah jelas bahwa saya menganut nilai-nilai yang berbeda dengan perusahaan anda atau klien anda. Dengan ini saya mencabut aplikasi saya.

Semoga anda bisa menemukan kandidat yang sempurna di Belanda.

(Sengaja banget gue nulis “kandidat yang sempurna di Belanda”, hihihi)

Kritik di kepala, merasa lebih kuat!

Kesannya dari cerita di atas, gue berani banget ya langsung lapor sana sini dan mengkonfrontasi si rekruter dengan fakta bahwa dia diskriminatif? Kenyataannya nggak seperti itu, lho. Walaupun gue merasa fired up, triggered, marah, kesal, dan ingin melakukan sesuatu, namun ada kritik di otak gue yang berbisik seperti ini, “Udah lah, Crystal… Ini resiko lo pindah ke Belanda, negara kulit putih. Lo tuh kulit berwarna, perempuan, lagi! Yang kayak begini tuh udah pasti bakal kejadian terhadap lo. Stel je niet aan! (Jangan drama, deh!)”

Kritik diri sendiri ini membuat gue merasa lebih kecil lagi. Bayangkan aja, sudah merasa diperlakukan tidak adil, tapi ada suara dalam hati yang mensabotase diri dengan cara “menormalkan” perilaku tersebut dan nyuruh gue untuk “nggak usah macem-macem”, “nyerah aja”, “yang begini akan terjadi”, “nggak usah lapor” dan lain-lain. Membuat gue teringat dengan suara-suara sumbang di kehidupan lalu. Saat gue berada dalam situasi dimana gue diperlakukan tidak adil, selalu ada suara yang bilang, “Udah lah, sabar aja, dia itu kan lebih (tua/tajir/populer/banyak pengalaman) daripada lo. Nanti kalau lo lapor, malah lo yang akan disulitkan”. Ujung-ujungnya gue jadi diam saja dan bersifat pasif dengan ketidakadilan seperti ini.

Gue kemudian menceritakan pengalaman diatas ke terapis gue. Beruntung sekali gue bercerita hal ini, karena selepas sesi terapi, gue merasa lebih kuat. Gue diingatkan si terapis, bahwa yang gue lakukan (melaporkan tindak diskriminasi dan menegur langsung si rekruter) adalah tindakan berani. Sesuatu yang tidak bisa (atau tidak sempat) gue lakukan saat masih di Indonesia karena merasa lebih kecil, lebih miskin, kurang berpengalaman, dll. Dia salut bahwa gue sudah cukup berani untuk melapor, bahkan hal sekecil gue ngeh dengan perlakuan diskriminatif saja ternyata sudah pantas diacungi jempol.

Dari pengalaman ini, gue juga belajar bahwa hanya karena sesuatu yang buruk dianggap normal, bukan berarti kita harus memaksa diri kita untuk merasa baik-baik saja. Diskriminasi bukanlah hal yang baru. Di luar sana, ada lebih banyak orang yang terkena dampak diskriminasi dari hari ke hari. Walaupun itu hal yang “lagu lama” dan banyak lapisan masyarakat yang masih menganggap ini “normal”, bukan berarti kita harus ikut arus dan tidak melapor. Jadi korban diskriminasi itu berbeda dengan menjadi saksi mata atau hanya dengar cerita orang. Jika kamu adalah korban diskriminasi, apapun bentuknya, jangan ragu untuk melapor, melawan, atau menunjukkan bahwa mereka salah. Gunakan sumber organisasi anti-diskriminasi sebanyak-banyaknya karena kamu nggak sendirian!

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.