Perjalanan gue ke Irlandia minggu kemarin dimulai dengan drama yang sebenernya nggak penting.
Gue kira gue sudah siap dengan perjalanan perdana gue pasca “panini” ke Dublin ini. Formulir sudah di tangan, vaksinasi sudah lengkap, tiket pesawat sudah di beli, hotel sudah di pesan, lengkap deh. Tinggal packing dan berangkat.
Tanggal 3 September 2021, hari yang sudah ditunggu-tunggu selama dua bulan akhirnya tiba juga. Kami sengaja berangkat dari rumah pukul 6 pagi untuk mencegah rush hour. Jarak dari Den Haag ke Schiphol ditempuh dalam waktu satu jam perjalanan naik kereta.
Setibanya di bandara Schiphol sekitar jam 7.15 pagi, R masih ada banyak waktu untuk merokok, ke toilet, dan lain-lain. Sekitar jam 8 pagi, kami berdua mengantri dengan manis di meja check-in Ryanair. Karena R adalah warga Uni Eropa, boarding pass dia ngga perlu di print lagi; sementara boarding pass gue masih perlu divalidasi meja check-in.
Kami dilayani oleh seorang bapak paruh baya warga keturunan. Wajahnya cuek, nggak menyapa tamu dengan senyum sama sekali. Begitu giliran kami, secara otomatis kami menyerahkan dokumen-dokumen yang dibutuhkan. Beberapa saat kemudian, akhirnya si petugas check-in menunjukkan ekspresi, tapi ekspresi kebingungan. Mungkin dia jarang lihat paspor Indonesia, pikir gue. Soalnya kan, yang datang ke meja check-in dia, paling hanya untuk drop bag. Bolak-balik dia bertanya ke kolega sebelahnya, seorang perempuan yang jauh lebih muda dengan rambut pirang dan kulit putih. Dia juga membolak-balik halaman paspor gue, seolah mencari sesuatu.
Kemudian si bapak ini bertanya ke R, “Kamu punya paspor Irlandia, nggak?”. Yang dijawab singkat, “Nggak, tapi seperti yang kamu lihat dari paspor saya, saya warga EU”.
Si bapak ini kembali kebingungan. Lalu dia menelepon seseorang dengan ponselnya. Beberapa detik kemudian, dia memutuskan, “Istri anda nggak bisa ke Irlandia. Dia butuh visa. Tapi kamu bisa boarding pesawat.”
Lho? Nggak terima gue. Dikira gue nggak riset dulu, apa, sebelum beli tiket ke Dublin?
Ijin tinggal gue itu namanya ijin tinggal family member of EU citizen. Dengan ijin tinggal ini, gue bisa pergi ke negara anggota EU non-Schengen (Irlandia, Bulgaria, Kroasia, Rumania) dengan partner gue tanpa harus membuat visa terlebih dahulu. Jika gue pergi ke empat negara ini sendirian, barulah gue harus mengurus visa.
Dengan fakta yang gue tahu ini, gue mulai ngamuk. Gue tunjukkin tautan resmi website EU tentang informasi ini, si bapak tukang check-in ngga bergeming. Bahkan kolega di sebelahnya juga goblok, makin panas-panasin dengan sok tahu bilang, “Nggak bisa, istri anda harus urus visa”. Betul-betul ngga solutif. Gue minta disambungkan ke siapapun yang di telepon juga dijawabnya, “Maaf, tidak bisa”.
Setengah putus asa, gue dan R keluar dari antrean. R keliatan nggak mau panik, walaupun gue tahu dia kesel juga. Sementara gue merasa putus asa, kesal, merasa bodoh, sekaligus gaslighting diri sendiri dan bertanya-tanya “Informasi yang gue baca di website resmi itu bener nggak sih?”. Akhirnya setelah nafas, gue memutuskan untuk mencari informasi ke siapapun, I repeat, SIAPAPUN, yang bisa mengarahkan gue ke orang yang benar.
Target pertama gue adalah seorang wanita staff ticketing maskapai TUI. Jawaban dia agak nggak membantu, ya iya lah, dia kerja untuk maskapai lain. Kemudian gue bertanya ke seorang karyawan dengan baju seragam bertuliskan “Amsterdam Airport Schiphol”. Setelah menjelaskan duduk perkara gue dan menyebutkan maskapai yang cari masalah dengan gue: RYANAIR, karyawan tersebut menunjuk loket bernama “Menzies”, letaknya nggak jauh dari gue.
Gue kemudian berlari ke loket Menzies tersebut. Ada dua orang wanita yang duduk di balik loket, satu lebih muda daripada yang lain. Kemudian, dengan nafas terengah-engah, gue jelaskan duduk perkara ditolak check-in ke wanita yang lebih muda. Lalu si wanita lebih tua tiba-tiba menimpali, “Sebentar, di kartu penduduk kamu ada tulisan family member of EU citizen nggak?”. Gue mengangguk.
Lalu wanita itu mengambil alih kasus gue, dia menjawab, “Aduh, maaf banget, saya ngasih informasi yang salah ke petugas check-in. Itu salah saya. Ya, kamu bisa kembali ke meja check-in, saya akan telpon kolega saya bilang bahwa kamu boleh masuk. Ijin tinggal kamu boleh masuk Irlandia tanpa visa.”
Gue kemudian bergegas kembali antre ke meja check-in tanpa mendengarkan ucapan ribuan maaf dari si wanita tersebut. Lega tapi masih kesel juga rasanya. Gara-gara masalah yang nggak penting ini, gue dan R jadi harus mengorbankan waktu selama satu jam untuk tanya sana-sini.
Ketika antre, R berbisik, “Coba lu cari tahu nama petugas check-in itu siapa. Biar bisa kita laporin ke Schiphol. Dia begini sama lu tuh nunjukkin ga profesional, ga solutif, apalagi kayaknya bawa-bawa ras pas liat lu. Kali aja kalau kita laporin orangnya, bisa dapet kompensasi duit. Gaskeun!” (Oke, yang terakhir itu gue aja yang lebay)
Tiba saatnya kami harus menghadap si petugas check-in lagi. Begitu kami datang ke mejanya, dia cuma melengos, tersenyum tipis, lalu bergumam, “Sorry for the confusion” lalu mengecek ulang paspor kami berdua. Enak aja lu sorry sorry, mau kata seandainya muka lu seganteng Donghae di SuJu pun gak bakal gue maafin, pikir gue dalam hati. Gue coba mengintip kartu identitasnya. Sialnya, dia membalikkan kartu identitas, jadi gue ngga bisa lihat namanya. Asem banget, mungkin dia sengaja membalikkan kartu identitas biar nggak ketahuan namanya kalau-kalau dilaporkan orang ke pihak bandara. (Ujung-ujungnya gue tetap lapor dengan mencantumkan waktu kejadian, nomor gate check-in dan nomor loket. Biar mamam tu orang).
Dalam waktu beberapa menit saja, boarding pass gue sudah di tangan. Sudah nggak ada waktu lagi untuk bersantai karena sudah jam sembilan pagi dan dalam waktu 30 menit, boarding gate akan ditutup. Dalam waktu 30 menit itu, kami terburu-buru melewati pemeriksaan sekuriti dan mengantre kontrol passport.
Selesai tetek bengek itu semua, kira-kira jam 9.20. R tiba-tiba kepingin pipis. Dengan galak gue bilang, “Ga ada waktu lagi buat pipis, kita mesti lari-lari ke boarding gate, sebentar lagi akan ditutup! Kalo mau pipis, tunggu di dalam pesawat aja.” Akhirnya kami terpaksa harus lari-lari mengejar waktu. Sialnya, boarding gate Ryanair ke Dublin pagi itu lokasinya jauh sekali, paling ujung. Kami menjadi dua penumpang terakhir yang diperbolehkan masuk.
Pesawat akhirnya lepas landas tepat waktu, sekitar jam 10 pagi. Gue harus duduk berjauhan dari R karena kami pesan tempat duduk yang tidak berbayar. Kalau di Ryanair (dan berbagai maskapai murah lainnya), kita harus bayar untuk dapat tempat duduk yang dekat satu sama lain. Gue duduk di daerah depan pesawat dan R di area tengah pesawat.
Sepanjang perjalanan menuju Dublin, tak hentinya gue berpikir ke peristiwa yang baru gue alami. Tentang surat sakti bernama “paspor” yang bisa menentukan seberapa “kuat”-nya kita memasuki sebuah negara. Ada negara-negara yang sangat dipercayai negara lain untuk bisa memasuki negara mereka tanpa bukti visa, namun ada juga negara yang dianggap lemah (mungkin) sampai penduduknya harus mengurus visa sebagai tanda perjalanan ke negara tersebut.
Gue beruntung, menikah dengan warga Uni Eropa, jadi gue bisa “nebeng” pergi ke Irlandia tanpa visa. Tapi tetap saja, kalau gue mau berangkat sendirian, gue harus mengurus visa. Dalam situasi seperti ini, barulah gue menyadari adanya ketimpangan dalam privilege bepergian.
Gue menutup refleksi gue dengan membaca berulangkali salah satu bab tentang visa di buku terbaru karangan Agustinus Wibowo, “Jalan Panjang Untuk Pulang”. Di tulisan itu, dia menceritakan pengalamannya hampir ditolak terbang ke Belanda dari Thailand hanya karena tidak punya tiket pesawat pulang. Walaupun dia jelaskan tujuan dia ke Belanda adalah untuk riset dan riset tidak mungkin punya tanggal pasti kapan selesai (dalam waktu 90 hari), tetap saja dia nggak boleh terbang. Masalah baru selesai ketika seorang diplomat dari kedubes Belanda datang ke bandara dan menjelaskan bahwa dia boleh terbang karena dia punya sponsor di Belanda. Yes, jalan orang Indonesia menuju bepergian ke banyak negara maju tanpa visa sepertinya masih panjang.
Nantikan tulisan-tulisan lain tentang Dublin di post berikutnya!
Yah begitulah nasib paspor ijo. Walaupun kita kadang udah yakin pegang peraturan yang benar, tetep aja risiko kudu adu mulut tiap kali di airport. Sayangnya peraturan seperti ini memang peraturan “nyelempit”, alias ngga banyak yang pake, dan staff airport pun kurang edukasi dengan banyaknya peraturan imigrasi yang ada (you know sendiri lah, seberapa rumit peraturan masuk EU untuk tiap2 jenis orang dan kepentingan).
Yang penting bisa capcus ke DUblin sampe pulang lagi, dan udah laporin orang ini, semoga kedepannya petugas Schiphol lebih teredukasi.
SukaSuka
Betul. Aku rasa, si petugas juga gak biasa nemu kasus kayak gini. Yang bikin aku kesel tuh dia betul2 gak solutif, seenak jidat aja gitu bilang “kamu harus punya visa”. Bahkan aku minta ngomong sama yang dia telpon pun ga dikasih. Si ibu yang di loket Menzies itu ternyata orang yang dia telpon. Hih gondok banget emang. Lain kali kalo aku mau pergi ke negara EU yang bukan Schengen kayaknya harus print peraturannya biar kasih paham.
SukaSuka
Aku sampai baca lagi tulisanku kenapa dulu bermasalah di Schiphol pas mau ke Kroasia. Ternyata aku ditolak dua lapis. Pertama sama pihak maskapai. Kedua sama pihak imigrasi. Jadi panas dinginnya dua kali. Balik dari Kroasia pun 2 lapis penolakan. Dulu rasanya ngenes banget cuma aku sendiri yang bermasalah, yang lainnya bisa langsung melewati imigrasi tanpa diperiksa ketat. Serumah beda perlakuan perkara beda paspor.
Jadi aku bisa merasakan kepanikanmu pas baca tulisan ini.
Kroasia itu negara non schengen tapi bisa dimasuki oleh mereka yang punya visa Schengen yg masih valid.
SukaSuka
Iya mbak, ngeselin banget emang. Tiap inget masih berapi-api rasanya 😑
SukaSuka