Sejak beberapa tahun belakangan, apalagi sejak masa pandemi, gue melihat fenomena netizen Indonesia jadi semakin paham tentang pentingnya kesehatan mental. Istilah-istilah seperti “toxic“, “anxiety“, atau “self-care” menjadi semakin populer di media sosial. Selain itu, semakin banyak pula psikolog, psikiater, dan terapis bersertifikasi yang mendulang popularitas via media sosial seperti dokter Jiemi Ardian di Twitter. Para psikolog ini, selain punya jadwal praktek offline di rumah sakit, juga sering memberikan berbagai tips mengenai kesehatan mental dengan bahasa sederhana dan mudah dimengerti para netizen.
Walaupun begitu, ada satu kata yang berkaitan dengan kesehatan mental yang belakangan ini sering muncul di media sosial, tapi sering diartikan sebagai sesuatu yang salah: kata “healing” dan/atau “self-care”. Lewat tulisan ini, gue mau menyampaikan uneg-uneg gue mengenai dua kata ini dan memberikan pengertian yang tepat tentang kata yang sering disalahartikan orang ini.
Oh iya, bukan berarti gue adalah seseorang dengan gelar psikologi, ya. Semua tulisan ini murni ditulis berdasarkan riset lepas dari Google, pengamatan dari media sosial, dan pengalaman pribadi.
“Healing” dan “self-care” adalah sesuatu yang valid dalam bidang psikologi
Bayangkan situasi berikut ini. Suatu hari, kamu sedang berada di dapur, memasak sesuatu. Ketika kamu sedang memotong bahan makanan, tiba-tiba jarimu tersayat pisau cukup dalam. Darah langsung menyembur keluar dan kamu bisa melihat bahwa jarimu terluka. Apa yang kamu lakukan? Yap, tentu saja kamu akan langsung mencari kotak obat dan berusaha menutup luka sayat dengan plester. Singkat kata, kamu berusaha menyembuhkan diri sendiri.
Begitu pula dengan maksud healing. Dalam dunia psikologi, healing atau self-care mempunyai banyak arti, mulai dari pengertian secara medis hingga pengertian yang loose. Tapi intinya hanya satu: untuk menyembuhkan luka batin, stres, atau trauma psikologis seseorang. Dua hal ini bisa dilakukan pelan-pelan dalam jangka pendek atau terus-menerus untuk trauma/stres yang lebih berat.
Fenomena “healing” yang salah
Tolong koreksi gue jika gue salah, tapi gue melihat adanya kecenderungan pengertian yang kurang tepat tentang “healing“. Sejauh yang gue lihat dari media sosial gue, kebanyakan orang mengartikan “self-care” untuk masalah psikologis tuh harus selalu ditempuh dengan cara mengeluarkan uang. Contohnya: upaya self-care dengan cara membeli sesuatu yang mahal, makan makanan yang sedang hits, atau pergi berlibur. Seolah-olah self-care tuh harus berupa reward.
Padahal, reward untuk apa? Kamu sedang stres, kamu lagi anxious, kenapa kamu harus mengeluarkan uang untuk membuat dirimu merasa lebih baik? Itulah kenapa gue bilang bahwa fenomena ini sering diartikan dengan cara yang nggak benar. Alih-alih betul-betul menutup luka batin, malah harus mengeluarkan uang.
“Tapi kan, kalau sudah berkepanjangan, liburan juga bisa jadi satu cara menghilangkan stres”, mungkin kamu berkata begitu. Memang benar bahwa jika sudah terlalu burnout, kadang kita butuh refreshing dengan cara mencari suasana baru. Tapi kalau kita merasa bahwa setiap kali kita stres (apapun tingkat stresnya) harus disembuhkan dengan cara liburan, ya lama-lama dompet semakin tipis. Hasilnya? Makin stres, cemas, dan panik lagi, lah!
Belum lagi orang-orang yang memilih self-care dengan cara makan. Sedih sedikit, keluar uang untuk jajan. Stres sedikit, harus cari makan di tempat yang populer. Semua dijalankan atas nama self-care. Itu bukan healing, itu namanya stress eating. Situasi dimana kamu melampiaskan stres dengan cara makan. Alih-alih stres/trauma berkurang, dompet semakin tipis, timbangan semakin bergerak ke kanan.
Bagaimana cara self-care/healing secara psikologis yang benar?
Sekali lagi gue tegaskan bahwa gue bukan psikolog atau seseorang dengan gelar akademik berbau psikologi. Jika kamu punya masalah dengan kesehatan mental, lebih baik cari dahulu psikolog/psikiater yang bisa membantu kamu.
Setiap orang punya cara tersendiri untuk membuat dirinya merasa lebih baik secara emosional. Terapis gue mengajarkan gue untuk membuat daftar panjang yang gue sering sebut sebagai “Emotional Toolbox“. Daftar ini berisi hal-hal yang bisa gue lakukan jika gue merasa sedih, stres, panik, cemas, untuk seketika merasa lebih baik. Contohnya, gue memasukkan beberapa poin ini ke dalam Emotional Toolbox gue:
- Main game favorit
- Menulis uneg-uneg di buku jurnal
- Cerita ke orang lain yang bisa dipercaya
- Tidur
- Menggambar
- Minum teh/kopi
- Masak makanan kesukaan
- Membaca buku
- Latihan pernafasan
- Minum vitamin
- Melakukan beberapa coping mechanism yang cocok dengan kehidupan gue, seperti berbicara seolah-olah gue adalah sahabat yang mendengarkan cerita sahabatnya, atau berusaha menangkap pikiran-pikiran negatif di kepala dan sebisa mungkin gue jawab dengan afirmasi-afirmasi positif.
…dan berbagai cara lainnya yang tentu saja gratis, paling tidak bisa mengobati kegelisahan gue dalam waktu cepat. Emotional Toolbox ini bisa diibaratkan seperti satu set perban dan plester dalam berbagai ukuran yang bisa gue pakai untuk membebat atau menutup luka seseorang. Quick fix gitu lah istilahnya.
Untuk stres atau trauma jangka panjang, jawaban self-healing atau self-care seperti pergi berlibur mungkin adalah cara yang tepat, selain pergi ke psikolog. Namun, jika stres dan trauma kecil sudah bisa diatasi lewat Emotional Toolbox, maka liburan akan jadi lebih enak karena sudah zen duluan, kan?
Semoga tulisan kecil ini bermanfaat dan bisa memberi sudut pandang lain mengenai fenomena healing dan self-care di jagat media sosial Indonesia. Intinya, self-care nggak melulu harus pergi ke mall lalu beli barang mahal, makan makanan mahal yang bisa jadi menguras kantong dan ngga sehat, atau pergi liburan ke Bali padahal kondisi keuangan sedang cekak atau jatah cuti sudah mau habis. Self-care atau healing bisa dilakukan dengan hal-hal kecil yang bisa kita temukan dalam kehidupan sehari-hari, yang bisa jadi tanpa biaya. Yang penting kita harus mulai sadar dengan kebutuhan mental kita, agar pelan-pelan kita juga bisa awas memberikan “plester” yang dibutuhkan untuk “hati” kita.
kalo di indonesia kayaknya self care sama healing agak beda. kalo self care, kayak yg disebut di atas, beli2 barang buat diri sendiri. kalo healing lebih ke jalan2 gitu. misal, healing ke bali.
wkw .__.
SukaSuka
Berarti mending sering2 self care yang ngga ngeluarin biaya daripada seketika healing.
SukaSuka
Jarang sebetulnya istilah self care disini diidentikkan dengan healing. Mungkin bahasa Indonesianya “menghibur/memanjakan diri” cth dengan retail therapy atau comfort food.😅
Emotional tool box itu mungkin model healing yg biayanya nggak mahal ya bisa dilakukan kpn suka.😁
Nice post.
SukaSuka
Kalo memang begitu, mending uang yang dipake untuk beli barang atau makan enak dipakai untuk healing yang bener, alias pergi konsultasi ke psikolog/psikiater.
Emotional toolbox itu semacam upaya2 kecil dari diri kita sendiri untuk mengobati luka atau trauma atau sesuatu yang kita lihat lalu trigger emosi kita, sehingga nggak jadi luka/trauma yang lebih berat dan akhirnya harus pakai jalan konsultasi psikolog dalam jangka panjang.
SukaSuka