Ya begitu deh gengs, saya mengalah.
Dua tahun nggak pulang, jadi kangen juga sama Indonesia.
Sebenarnya, peristiwa nggak jadi pulang karena wabah COVID-19 ini bisa jadi jawaban Tuhan atas permintaan gue pas terakhir pulang kampung tahun 2019 lalu. Menjelang naik pesawat dari Jakarta ke Singapura, gue berdoa, “Tuhan, lain kali gue ngga mau keseringan pulang kampung.”
Beberapa bulan kemudian, pandemi terjadi, dan seperti yang kita semua tahu, hal ini mempersulit imigran seluruh dunia untuk pulang kampung ke tanah kelahirannya. Doa gue dikabulkan, tapi di saat yang sama, seluruh dunia harus menanggung hal yang sama juga.
Untuk mengobati rasa kangen, di tulisan ini gue akan merunutkan apa saja yang gue kangenin dari si ibu pertiwi.
Semua serba mudah
Perasaan ini gue alami beberapa bulan lalu saat Belanda masih mengalami lockdown. Anehnya, pemantik perasaan ini bukan dipantik dari hal bertema Indonesia, tapi dari video tentang wisata kuliner di Mesir.
Di video tersebut, sang pembawa acara menunjukkan makanan dan restoran yang dia hampiri di Mesir, berikut beberapa footage kota Cairo. Kondisi kota tersebut agak mirip dengan kota besar di Indonesia dalam segi chaotic dan spontanitasnya. Banyak sekali orang berjualan makanan hanya berbekal gerobak atau plastik Tupperware di atas sepeda motor.
Melihat kondisi kota Cairo, gue tiba-tiba jadi kangen dengan spontanitas di Indonesia. Seperti abang tukang jualan cemilan di Cairo, di Indonesia juga mudah sekali untuk jualan makanan. Di setiap pengkolan, pasti ada abang jualan gorengan atau jualan bakso. Hal ini menunjukkan bahwa iklim bisnis di Indonesia sangat subur sehingga semua orang bisa berjualan apapun.
Apa kabar di Belanda? Mau jualan makanan seperti ini, susah banget. Selain ruwetnya sertifikat yang harus dimiliki, pemilik usaha juga harus punya bangunan/tempat yang layak untuk dijadikan dapur kelas industri. Selain itu, jam bukanya juga saklek banget, sepertinya tidak ada yang jualan diatas jam 12 malam. (Dadah-dadah ke abang jualan mie dok-dok)
Masyarakat yang terbuka dengan ide-ide baru
Selama tujuh tahun belakangan, kira-kira gue sudah pulang kampung sekitar tiga kali. Dan dalam tiga kali kunjungan tersebut, gue lihat orang Indonesia sangat responsif terhadap terobosan baru.
Nggak usah jauh-jauh, contohnya adalah bisnis ride-hailing dan pengiriman logistik lokal yang berkembang pesat selama tujuh tahun terakhir. Servis same-day service yang dikembangkan oleh Gojek dan Grab itu, sampai saat ini belum ada di Belanda, lho. Ride-hailing macam Uber atau Bolt hanya boleh beroperasi di kota-kota besar.
Baru-baru ini, Belanda mengalami invasi perusahaan online grocery. Konsepnya mirip seperti GoMart dari Gojek, yaitu kamu unduh aplikasinya, kamu beli sembako dari aplikasi tersebut, lalu pesanan kamu akan diantar dalam waktu kurang dari 10 menit. Bedanya dengan GoMart yang kurirnya bisa membeli belanjaan di supermarket mana saja, mereka memiliki pusat distribusi sendiri, jadi si kurir memenuhi pesanan dari si pusat distribusi mereka. Nah, servis model gini sekarang sedang mengalami gempuran habis-habisan dari masyarakat kota-kota besar seperti Amsterdam. Mereka menilai pusat distribusi ini menimbulkan banyak polusi suara dan banyaknya kurir yang menunggu di luar pusat distribusi membuat mereka merasa risih, apalagi jika pusat distribusi tersebut terletak di daerah pusat kota atau dekat perumahan.
Inilah yang menurut gue kurang di Belanda. Orang sini cenderung tidak mau menerima hal-hal baru yang mungkin sudah diterima dengan baik di negara lain. Bukan hanya masyarakatnya yang “sok” kritis dengan hal baru, tapi juga regulasi kotanya terkadang menyulitkan sebuah perusahaan untuk melakukan terobosan baru di masyarakat.
Situasi chaos dan suasana tak menentu
Tinggal di negara maju tuh kadang-kadang membosankan karena semua sangat bisa diprediksi. Sebagai contoh, sebagai pemakai transportasi umum, gue sangat terbantu dengan informasi real-time kalau-kalau tram atau kereta gue mengalami keterlambatan. Di Jakarta kan boro-boro ya, nunggu TransJakarta jam sibuk tuh rasanya kayak nunggu jodoh yang ngga ujung datang.
Walaupun begitu, terkadang gue merindukan berada di situasi di mana semua serba ngga pasti. Rasanya kayak ada “tantangan” lebih aja, gitu. Hidup selama 25 tahun di negara yang seperti every man/woman for him/herself bikin gue merasa bahwa 7 tahun terakhir gue jadi sangat dimanjakan, yang berujung pada sikap gue yang jadi kurang “tangguh”. Tram telat dikit, jadi ngomel dan nggak sabaran. Gue yang dulu mungkin berpikir, “Alah, udah biasa, tunggu aja tramnya, ntar juga dateng…”.
Masyarakat dan hubungan keluarga yang “ikut campur”
Belanda nih, negara yang sangat individualis. Dalam kacamata gue, masyarakat disini menganggap bahwa ketika lu sudah dianggap dewasa oleh negara, maka semua kelakuan lu adalah murni keputusan dan tanggungjawab lu sendiri.
Di satu sisi, gue seneng dengan tatanan masyarakat seperti ini, apalagi di awal-awal pindah. Rasanya lega banget berkenalan dengan orang-orang baru dan bisa mengekspresikan diri sendiri tanpa harus takut diragukan orang lain. Tapi lama-kelamaan, terkadang gue kangen punya orang dekat yang bisa memberikan intervensi secukupnya.
Contohnya bukan cerita gue, tapi cerita salah satu temen gue disini. Di lingkaran keluarga suaminya, ada satu anggota keluarga yang sering melakukan pilihan-pilihan hidup yang ujung-ujungnya mempersulit kehidupan dia. Alih-alih keluarganya intervensi, ujung-ujungnya pada nggak berani bilang apa-apa karena “Ya dia kan sudah dewasa, harusnya sudah bisa memilah-milah mana pilihan yang bagus dan buruk”. Ya elah, kalo gue punya anggota keluarga yang kayak gitu, ya gue kasih arahan, lah!
Empat hal diatas adalah tiga hal utama yang gue kangen dari ibu pertiwi. Tentu saja kalo kelamaan tinggal di Indonesia, tiga hal ini bisa jadi sesuatu yang nyebelin. Tapi percayalah, makin lama lu tinggal di negara lain, besar kemungkinan lu akan semakin menghargai dan merindukan hal-hal seperti ini.
Pulang!!! Hahaha, makanan Indonesia itu memang ngangenin banget, dah lah paling juara, but that said, aku memang overall lebih bahagia tinggal disini terutama dengan poin terakhir yang kamu tulis, soal individualis, alias ga kepo dan ngga ngurusin orang. Sayangnya masih ada bbrp orang Indonesia disekitaran aku yang masih kelakuan kek gini hahaha.
SukaSuka
Kebahagiaan overall tentu saja menang pas udah di Belanda ya. Tapi kadang jiwa “ah ga seru nih” tuh keluar kalo liat betapa organised negara ini. Emang dasar lahir dan besar di negara every man for himself, diurusin negara sedikit jadi agak gatel. Hahaha…
SukaDisukai oleh 1 orang
Ahya…Asia itu dinamis.
SukaSuka