Curcol tentang orang kaya

Mau curcol sedikit tentang apa yang terjadi di hari Sabtu yang cerah ini. Begini ceritanya…

Beberapa bulan lalu, bokap gue menanyakan sesuatu yang berkaitan dengan asuransi kesehatan untuk pelajar di Belanda. Jadi, dia mempunyai rekan kerja (sebut saja Om R) yang dua putri kembarnya sebentar lagi akan bersekolah ke Belanda. Om R dan keluarganya ini tajir melintir. Pertanyaan bokap gue adalah, “Memangnya di Belanda wajib punya asuransi pelajar ya?”. Gue jawab secara singkat, “Iya, harus punya”.

Kemudian, bokap gue nanya lagi, “Tapi mereka ini sudah punya asuransi pribadi di Indonesia. Kamu yakin, wajib punya asuransi di Belanda juga?”. Hadeh, gue mulai males deh. Kemudian gue menjelaskan secara singkat bahwa asuransi di Belanda itu tujuannya untuk asuransi kesehatan dan disini semua orang wajib punya asuransi kesehatan. Kalau nggak punya, bisa kena denda dari pemerintah. Tapi bokap gue tetap ngeyel, bilang bahwa keluarga ini sudah punya asuransi swasta. Karena gue malas menjelaskan lebih lanjut, jadi gue akhiri pembicaraan dengan “Tanya lebih lanjut sama agen pendidikannya aja, pasti mereka lebih tau”.

Siang hari ini, bokap telpon lagi. Pertanyaan dia lagi-lagi mengenai putri kembar Om R. Kemudian bokap gue nanya, “Si anak-anaknya Om R udah tiba di Belanda, tuh. Kira-kira di Belanda tuh ada orang yang bisa jadi pembantu buat bersih-bersih rumah dan nemenin mereka gitu nggak, sih?”

Gue rasanya mau ngakak, sekaligus kasihan juga. Lalu gue jelaskan ke bokap, “Kalo Om R udah berani ngirim anaknya ke Eropa, tandanya dua anak itu mesti belajar mandiri. Di sini nggak ada yang namanya pembantu tinggal di rumah buat bersih-bersih dan ngurusin orang rumahnya. Yang ada tuh, orang tukang bersih-bersih yang bisa dipanggil beberapa jam tiap minggu. Tapi itu juga harganya mahal sekali.”

Kemudian bokap ngejawab gue dengan sesuatu yang bikin gue agak merasa tersinggung, “Beneran nggak ada ya? Soal bayaran nggak masalah, deh.

Gue yang tadinya mau ngejawab santai, jadi agak esmoni juga denger kata-kata yang gue tebalkan itu. Kemudian gue jawab lagi, “Di Belanda, hal seperti ini nggak umum. Jadi nggak ada tuh seperti yang Papa atau Om R cari. Lagian, kamar/asrama mahasiswa tuh biasanya kecil. Mereka pasti bisa lah bebersih seminggu sekali, nggak usah pake pembantu. Memang kalau disini, semua harus bisa dikerjakan sendiri.”

Lalu bokap memutuskan untuk menyudahi percakapan telepon. Sebelum dia menyudahi percakapan, dia bilang lagi, “Nanti kalau kamu ada saran atau denger orang yang bisa, kasih tau ya”. Gue udah kadung gondok, jadi gue jawab aja, “Kota mereka terlalu jauh dari sini. Aku ngga punya network orang yang tinggal disana. Dan sepertinya nggak ada yang mau lah, kalau kalian cari orang yang buat bersih-bersih dan tinggal di rumah kayak gitu.”

Ada apa sih dengan orang kaya yang berpikir semua bisa dicapai dengan uang?

Entahlah, mungkin gue punya kekesalan tersendiri terhadap orang-orang kaya yang berpikir bahwa semuanya bisa dibayar dengan uang mereka. Untuk keluarga kaya yang bisa bayar satu keluarga untuk keliling dunia, bepergian naik pesawat First Class, bukannya mereka harusnya udah paham bahwa di negara-negara Eropa atau Amerika Serikat, servis macam in-house helper itu mahal (atau mungkin nggak ada sama sekali)?

Gue bercerita tentang kekesalan gue ini ke beberapa teman gue di Belanda dan mereka memberikan beberapa input yang menurut gue benar. Ada yang bilang begini, “Biasanya sih mereka udah tau mau cari “valet” atau “butler” di mana. Kalo dia masih nanya-nanya kamu, tandanya emang belum tajir level punya “valet”, kali. Kalo aku jadi mereka sih aku bawa satu dari Indonesia, urusin visanya”.

Sebenarnya, orang tukang bersih-bersih itu bukannya nggak ada sih. Tapi servis seperti ini biasanya dipakai oleh keluarga yang sibuk, nggak ada waktu untuk beberes rumah. Setahu gue nggak ada servis tukang bersih-bersih yang tinggal di satu rumah seperti konsep pembantu rumah tangga di Indonesia, karena mereka harus terdaftar dan ada hubungannya dengan perpajakan. Lagian, dua anak ini kan mahasiswa, sepenting apa sih mereka harus punya seseorang yang ngurusin mereka sehari-hari?

Kalo gue punya uang sebanyak itu sih, daripada gue cari pembantu buat bersih-bersih di rumah, lebih baik gue beli alat-alat super canggih untuk beberes rumah seperti robot Roomba atau vacuum cleaner merek Dyson, dan mempercanggih dapur gue dengan berbagai peralatan dapur yang bisa membuat makanan lebih mudah dan cepat.

3 komentar pada “Curcol tentang orang kaya”

  1. Bener sih. Klo tajirnya melintir ya ngga tinggal di asrama, tapi sewa rumah pakek pembantu, bawa dari Indonesia. Yah begitulah kadang orang Indonesia suka membandingkan di luar negeri sama di sini, kadang ketawa jg klo ada yg tanya hal receh โ€œDisana ada yg jual beras ga? Atau makan pake sendok garpu?โ€

    Tapi dari ceritamu keknya cm bokapmu yg penasaran. Jangan2 om R sama dua putrinya benernya biasa2 aja ๐Ÿ˜…๐Ÿ˜…

    Suka

    1. Nah itu dia, soalnya dari awal dia bilang “Aku lagi sama Om R nih”. Jadi kesannya dia kayak mo nanya karena sekalian si Om R ada disitu, atau Om R suruh dia nanya ke aku. Aku punya banyak sodara yang dari keluarga tajir, dikirim ortunya sekolah ke luar negeri, justru mereka hepi karena apa2 harus ngerjain sendiri.

      Disukai oleh 1 orang

  2. Hi mbak kalo berdasarkan pengamatan sebenernya itu masalah ortunya yg model helikopter kdg bkn soal kaya ato kismin, kutahu anak org kaya banget ga bawa pembantu awalnya kamar kayak ada bom meledak. tapi lama2 setelah berproses rapi juga. Atau anak orkay yg malah sengaja lempar ke LN spy anaknya mandiri termasuk mrk yg ingin lepas dari ortu model helikopter.

    Suka

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.