Jakarta, Tiga Tahun Kemudian

Awal September hingga pertengahan September tahun ini, akhirnya setelah tiga tahun, gue pulang kampung ke Jakarta. Sebuah keputusan yang sangat mudah. Pandemi kemarin betul-betul bikin gue ngga bisa kemana-mana, makanya begitu sudah ada pelonggaran dari pemerintah Indonesia, tanpa ba bi bu lagi gue langsung pesan tiket pulang berdua dengan R. Awalnya kami merencanakan untuk pulang secara rahasia karena jujur aja gue masih trauma dengan kejadian nggak mengenakkan yang terjadi saat terakhir kali kami pulang kampung di tahun 2019 lalu.

Sayangnya, the cat got out of the box. Rencana kami menjadikan ini sebagai perjalanan diam-diam tanpa ngasih tau keluarga terpaksa batal karena bokap nyokap nggak jadi ke Belanda dan mereka malah nawarin beliin tiket buat kami ke Indonesia termasuk ngajak mamanya R. Dengan berat hati gue harus memberitahu rencana rahasia tersebut.

Walaupun trip-nya udah bukan rahasia lagi tapi sebisa mungkin gue mencoba untuk menjaga privasi seketat mungkin. Contohnya kami memilih untuk tinggal di hotel daripada tinggal di rumah orangtua. Gue juga dari awal udah sounding sama nyokap untuk ngga usah nanya-nanya hal yang terlalu pribadi seperti punya anak atau mengomentari bentuk fisik gue atau R. Soalnya salah satu trauma gue tuh berawal dari situ, bodyshaming dan komentar ngga jelas.

Syukuran pernikahan yang terlambat

Bertepatan dengan kedatangan kami ke Jakarta, orangtua gue berencana untuk merayakan syukuran kecil-kecilan atas pernikahan kami yang sudah dilangsungkan sejak dua tahun lalu.

Sejak awal, gue sudah bertingkah “bodo amat” dengan rencana keluarga gue ini. Buat gue, menikahnya sudah di tahun 2020 kok, ngapain dirayain lagi sekarang? Tapi akhirnya gue maklum karena mereka ngga bisa datang di tahun 2020, jadi mau syukuran aja sekarang, makanya gue iya-in. Soal baju, make-up, gue juga nggak banyak cingcong. Apapun baju yang mereka suruh, gue iyain aja. I just wanted to get it over and done. Oh iya, dan sejak awal gue sudah bikin dua poin yang sangat jelas: Gue ngga mau acara syukuran ini terlalu “kawinan banget” dan gue ngga mau ada ibadah gerejawi. Semua poin disetujui oleh nyokap gue.

Akhirnya hari-H itu datang. Sehari sebelum keberangkatan kami ke Bali, kami mengadakan acara syukuran tersebut di restoran yang cukup mewah di Jakarta Selatan. Gue mengundang sekitar 10 orang sahabat gue. Sisa undangan dibagi-bagi ke keluarga dekat, teman-teman bokap, nyokap, teman gereja oma gue, dan beberapa teman adik-adik gue. Karena gue punya mindset “bodo amat” sejak awal, jadi gue udah nggak peduli lagi jika ada yang merasa “Kok acaranya jadi kayak acara nyokap lu sih, bukan acara syukuran lu?” atau jika ada komentar-komentar sumbang mengenai si R di belakang. Bahkan kami cabut duluan karena mau nongkrong sama teman-teman di bar hotel. Ya, se “bodo amat”-nya itu, hahaha!

Drama yang sama dengan attitude yang beda

Soal drama keluarga, oh tentu saja ada. Apa lagi kalau bukan drama dari oma gue. Sungguhlah orang itu biarpun sudah tua dan sudah pensiun tapi tetep aja kelakuan negatifnya ngga berubah, bahkan mungkin sekarang lebih parah.

Drama awal sudah dimulai sejak hari pertama. Bokap nanya, “Kapan kamu mau ketemu oma?” Yang gue jawab dengan, “Kayaknya kami mau kesana hari Kamis, deh”. Terus bokap bilang, “Duh, jangan Kamis deh, besok aja gimana? Biar langsung kelar gitu”.

Gue pikir, oke lah ide yang bagus. Maka itu gue langsung Whatsapp oma gue bilang bahwa kami akan mengunjungi mereka besok siang. Bokap juga setuju, terus dia juga nawarin untuk makan siang di luar aja.

Beberapa jam kemudian, gue dapat kabar dari oma. Dia bilang dia baru tiba dari Manado, habis jalan-jalan, jadi dia kecapekan dan sakit tenggorokan. Lalu dia sendiri yang minta untuk di-postpone saja jadi hari Kamis. Sesuai dengan rencana awal gue, kan. Gue oke in lah permintaan dia itu.

Eh ternyata dia cerita hal yang lain ke orang lain. Salah satu sahabat gue di Jakarta tiba-tiba Whatsapp, “Tal, oma lu barusan telpon bokap gue nih. Dia nanyain nomor gue ke bokap.”

Gue langsung mikir, “Et dah mau ngapain lagi sih ini orang.”

Ternyata sembari oma gue nanya nomor telpon sohib gue itu, dia juga curhat. Katanya dia sedih karena kami nggak mengunjungi dia langsung. Lah, padahal dia bilang sama gue bahwa dia lagi sakit dan dia sendiri yang minta di postpone. Tapi sama orang lain ngomongnya lain. Kelakuan oma gue yang satu ini memang udah gue tau banget. Makanya cuma gue ketawain aja (tapi tetep aja sih gue gak habis pikir).

Hari Kamis akhirnya datang. Pagi harinya, mertua gue bilang bahwa dia sakit perut. Maka itu gue berinisiatif mau membuat salad sederhana seperti yang kita biasa makan di Belanda untuk side dish dia. Sebelum berangkat ke rumah oma, gue mampir ke supermarket deket hotel untuk membeli semua bahan membuat salad, dengan pikiran nanti gue akan bikin saladnya di rumah oma aja.

Begitu datang ke rumah oma, ternyata rumahnya ramai. Dia mengundang tante J, salah satu tante yang gue sudah kenal sejak lama banget dan ada juga beberapa anggota keluarga jauh yang gue kenal. Tante-tante ini sudah lama sering bantu oma di rumah entah itu bantu memasak atau menemani oma.

Makanan yang disuguhkan adalah makanan Manado. Karena gue ngga makan daging lagi, jauh-jauh hari sudah gue informasikan untuk bikin makanan sayur-sayuran atau ikan aja. Apalagi cumi woku, gue udah kangen banget, tuh. Oma juga mengerahkan pasukannya untuk membuat sup brenebon tanpa daging.

Hadeh, makan siang sama oma tu ga tau kenapa bikin gue ga nafsu makan, tau. Entah kenapa dia tu dikit-dikit nyindir R terus, nyindir gue terus, udah gitu juga sering komentar-komentar sinis dengan jawaban-jawaban dari mertua gue. Bahkan gue sempat dengar dia nyindir gue yang intinya “Baru juga berapa tahun tinggal di luar negeri tapi sudah berubah”. Ya elah, manusia berubah, kali. Dengar itu gue tahan-tahan aja sambil makan. Mungkin ini yang bikin gue gak nafsu makan. Udah gitu makannya kayak diburu-buru, dikit-dikit “Yuk cobain ini! Yuk makan itu!”. Woy selow kali.

Sekitar tiga jam kemudian akhirnya kami balik. Lama-lama, mungkin setelah ngobrol lama sehabis makan dengan mertua gue, sikap oma jadi lebih fleksibel. Dia jadi lebih banyak senyum dan komen-komen dia ke R jadi kedengeran lebih manis. Bahkan dia ngga sabar untuk ketemu mertua gue lagi keesokan harinya di acara syukuran kawinan tersebut.

Intinya, dramanya sama tapi kelakuan gue dalam menyikapi drama tersebut udah berbeda. Dramanya berawal dari orangtua kolot yang mungkin punya ekspektasi terlalu tinggi dan ngga sesuai dengan kenyataan yang ada. Tapi gue bisa dengan bangga bilang bahwa mental state gue sudah jauh lebih baik daripada tiga tahun lalu. Jika dulu gue menyalahkan diri sendiri dan menyalahkan mereka, sekarang gue udah bersikap lebih bodo amat.

Gue menyadari bahwa entah gue berlaku baik atau berlaku buruk, akan tetep ada orang yang bisa melihat kekurangan gue dan hanya fokus di kekurangan itu saja. Kalau udah begitu, ya itu masalah mereka lah, bukan masalah gue.

Tapi tetep, Jakarta adalah rumah

Dengan semua drama keluarga dan kelakuan gue yang udah bodo amat, gue jadi lebih bisa mengapresiasi Jakarta. Ternyata begini toh rasanya kangen rumah setelah bertahun-tahun nggak pulang.

Gue sangat senang bisa ketemu temen-temen gue lagi setelah pandemi. Di acara syukuran pernikahan itu gue juga ngerasa seneng karena gue kenal semua orang yang datang dan bisa ngobrol-ngobrol dengan mereka. Buat kalian yang sudah menyempatkan waktu untuk bertemu gue dan R, terimakasih, ya!

Jakarta, setelah ditinggalkan selama dua tahun, tetep aja macet. Sejujurnya gue merasa seminggu di Jakarta tuh kelamaan. Lebih baik tiga hari aja cukup. Rasanya gue sudah outgrown Jakarta. Walaupun begitu, gue kini merasa lebih baik karena gue merasa punya dua rumah. Rumah pertama gue adalah di Belanda. Namun jika gue merasa penat dengan semua individualisme dan cuaca buruk, gue tahu gue selalu bisa balik ke rumah kedua gue di Jakarta dan gue akan menemukan semua orang menunggu gue disana.

Next post: BALI!