… nggak semua orang yang satu frekuensi dengan kamu, akan bereaksi yang sama denganmu jika menangani perbedaan pendapat.
Akhir minggu kemarin, gue baru aja merasakan kekecewaan yang agak dalam (duh, bahasanya!) terhadap seorang teman lama yang gue anggap seperti teman baik. For the sake of the story, mari kita memberikan dia nama samaran: Hana.
Teman konser Taylor Swift perdana
Gue mengenal Hana sekitar satu dekade lalu dari Twitter. Long story short kami jadi berteman cukup dekat, intens BBM-an, dan akhirnya kopdar saat gue menemani nenek gue berobat di Singapura. Kami kemudian bertemu lagi karena janjian nonton konser Taylor Swift, saat itu dia yang membeli tiketnya dan menemani gue selama tiga hari dua malam (selain nonton konser mbak Swift).
Entah alasan apa yang membuat kami stop saling kontak satu sama lain. Mungkin masa kejayaan BBM sudah hilang, kesibukan masing-masing, atau ya… our friendship falls apart aja, gitu. Lama-lama dia menghilang dan gue juga perlahan melupakan Hana. Beberapa tahun setelahnya, gue sering mencari Hana lewat media sosial, tapi entah kenapa gue nggak pernah bisa menemukan dia lewat Facebook, Twitter, ataupun Instagram.
Akhirnya bertemu lagi via LinkedIn
Semua itu berubah kira-kira dua tahun lalu. Tiba-tiba gue keingetan Hana dan berpikir, “Apa kabarnya ya ini anak?”. Akhirnya gue menemukan dia di LinkedIn. Ternyata sekarang dia tinggal di Uni Emirat Arab dan bekerja kantoran di sektor turisme negara tersebut. Gue mengirim pesan singkat ke LinkedIn-nya, bertanya bahwa ini adalah Hana yang gue pernah kenal. Nggak berapa lama kemudian dia menjawab pesan gue. Awalnya dia kebingungan, lalu saat gue bercerita tentang konser Taylor Swift, dia langsung ingat gue dan percakapan beralih ke Instagram.
Lewat Instagram, kami kembali menjalin pertemanan yang sempat terputus. Setelah saling update kabar dan kehidupan masing-masing, gue pun bertanya alasan kenapa dia tiba-tiba radio silence. Dia kemudian bercerita banyak tentang hidupnya, mostly bittersweet stories. Cerita-cerita tersebut membuat gue berpikir, oh wajar saja kalau dia memutuskan untuk berhenti mengumbar identitas pribadinya di media sosial.
Hana di Instagram hampir sama dengan Hana yang dulu sempat gue kenal secara singkat. Orangnya spontan dan wears her heart on her sleeves. Walaupun dia mengaku sebagai introvert, tapi entah kenapa gue menilai dia orangnya lebih outgoing dan lebih cerewet daripada gue.
Ada masanya ketika Hana tiba-tiba menghilang atau menonaktifkan akunnya, tapi beberapa minggu kemudian dia kembali lagi ceria seperti biasa, atau malah depresif. Cerita-ceritanya selalu beragam lewat medium foto, voice chat dan text, seperti cerita masa-masa saat dia jatuh cinta, ketika pacarnya nyusul dia dari Malta ke Dubai, dan masa-masa suram ketika dia dianiaya si pacar (yang akhirnya menjadi suami sah, cerai beberapa bulan kemudian, namun sepertinya dia kembali kepada si bekas suaminya ini).
Ketika Hana berubah menjadi fanatik
Tahun ini, gue skip dulu nonton Piala Dunia karena satu yang lain hal. Walaupun begitu, ternyata untuk gue Piala Dunia membawa banyak berkah. Bukan saja gue bersyukur Piala Dunia dan segala macam drama akhirnya berakhir, tapi gara-gara Piala Dunia, gue juga bisa melihat tabiat asli dari Hana.
Khusus di Piala Dunia ini, tiba-tiba Hana jadi suka sepakbola, terutama timnas Maroko. Awalnya dia nggak mendukung siapapun, tapi lama-lama dia condong mendukung Maroko karena selain mereka underdog, juga karena tendensi agama yang sama. Gue mengikuti sepak terjang Hana yang ngefans mendadak sama Maroko lewat Instagram tanpa berkomentar negatif. Buat gue mendadak ngefans itu adalah hal yang wajar.
Tapi kita semua kan tahu ya, Piala Dunia tahun ini memang sudah kontroversial sejak awal. Acara sepakbola empat tahun sekali ini seperti ditunggangi terlalu banyak isu politik dan HAM yang membuat beberapa timnas menjadi terlalu fokus untuk awareness isu-isu tersebut daripada fokus menggocek bola. Dalam bahasa gue, Piala Dunia tahun ini sangat woke.
Nah, wokeness dari Piala Dunia ini lama-lama “merasuki” Hana. Dia jadi sering berpendapat soal perlakuan rasis yang diterima beberapa pemain timnas Maroko selama Piala Dunia berlangsung. Di beberapa story-nya, dia jadi menggeneralisasi negara-negara Eropa sebagai negara-negara rasis dan diskriminatif terhadap bangsa pendatang, dalam hal ini terhadap imigran asal Maroko. Ironisnya, Hana selalu pergi ke Eropa setiap liburan musim panas, terutama ke negara-negara seperti Italia, Swiss, dan Prancis. Berwisata mewah seperti makan di restoran-restoran mahal, tinggal di resor dan hotel bintang lima di sekitar Danau Como, bertandang ke tempat-tempat mahal seperti Positano dan Amalfi Coast, dan berburu barang-barang berkelas di Milan.
“Iya, soalnya mereka rasis”
Sampai akhirnya pada satu story yang mengubah semuanya. Di hari Minggu pagi, ketika gue sedang malas-malasan dan iseng nonton story orang, gue sampai di story si Hana yang mengepos berita dari Denmark. Seorang pembawa acara berita TV Denmark menyamakan timnas Maroko dengan sekumpulan monyet. Setelah itu dia menulis story lagi dengan kata-kata seperti, “Gue nggak sabar deh, mungkin Belanda atau mungkin negara Eropa lain, yang akan bertindak rasis dan Islamofobik terhadap Maroko berikutnya”.
Gue agak merasa aneh. Gue langsung mikir, kenapa dia langsung mencomot satu nama negara, yang kebetulan negara tempat gue tinggal? Karena penasaran, gue kirim pesan ke dia langsung, “Hmm, kayaknya di Belanda nggak sampe gitu-gitu amat deh. Gue penasaran kenapa lo tulis Belanda bisa jadi negara berikutnya yang medianya bakal berperilaku seperti ini.”
Dia balas gue hanya dengan satu kalimat yang menurut gue sangat cetek, “Iya, soalnya mereka rasis” dan memberikan emoji :”) di akhir kalimat tersebut.
Entah kenapa gue merasakan darah gue menggelegak. Buat gue, kalimat itu seolah menyamakan media Denmark dengan media Belanda dan menggeneralisasi Denmark dan Belanda sebagai dua negara yang perilakunya sama terhadap imigran. Jadi kesannya seolah dia menelan semua berita bulat-bulat dan membentuk satu kesimpulan generalisasi tanpa cari literatur atau sumber pengetahuan yang lain.
Karena gue menganggap dia teman baik yang bisa diajak diskusi, maka gue menulis tentang gimana komunitas Maroko di sini sangat besar. Media Belanda juga sepertinya nggak akan bikin skandal seperti itu, kalau ada yang berani bikin, pasti bakal kena amuk seluruh masyarakat komunitas Maroko di Belanda. Gue jelaskan secara baik-baik juga, bahwa gue nggak berniat untuk mengubah pikiran dia, gue cuma mau memberi sudut pandang lain sebagai orang yang tinggal di Belanda dan di komunitas imigran juga. Buat gue, agree to disagree itu hal yang biasa.
Eh… dia malah menjawab gue dengan sangat defensif dan kasar. Dia jawab seperti ini dan bernada sarkastis, “LOL. Good for you then.” Kemudian dia jawab lagi, “I don’t ask your opinion anyway. So go away.”
Wow.
Gue kaget, ternganga, sampe bengong nggak tahu mau jawab apa lagi. Hancur sudah image dia di mata gue sebagai orang yang pandai dan cerdas memilah informasi, sebagai teman baik yang gue kira bisa gue ajak diskusi walaupun kami mempunyai pandangan yang berbeda. Ya gimana mau diskusi kalau gue ngomong yang beda aja, langsung dia jawab dengan kata-kata kasar seperti “gue nggak minta opini lu”. Lah, situ duluan yang naro pendapat di media sosial. Kalo udah naro pendapat di media sosial, tandanya harus siap terima orang-orang yang berbeda pendapat dan harus siap juga kalau diajak berdiskusi (bukannya debat kusir lho ya). Kalo nggak siap, mendingan cerita tentang fanatisme lu terhadap Maroko tuh cukup ke orang-orang terdekat aja, nggak usah masukin ke Instagram.
Saking speechless-nya akhirnya gue hanya menjawab dia dengan tiga kata, “Wow. OK then.” Seolah mata gue udah terbuka lebar, begini toh aslinya si Hana. Alih-alih menjawab gue dengan argumen yang cerdas, dia malah menjawab dengan kata-kata generalisasi dan begitu gue mengajak diskusi, dia malah bersikap terlalu defensif. Sia-sia deh lu Hana, sekolah tinggi-tinggi, kerja jauh-jauh dengan gaji besar sampai bisa afford liburan mewah di Eropa, kalau ternyata masih nggak bisa bermain cantik dalam menyikapi perbedaan pendapat.
Terserah dia deh habis ini, mau dia unfollow, block, atau restrict gue dari melihat story-nya. Gue juga sudah langsung malas dan ilfil mau lanjutkan berteman dengan dia. Buat gue, sikap dia mencerminkan kategori orang bodoh, dan gue nggak mau jadi makin bodoh dan tetap berteman dengan dia.
Ya, itulah pelajaran gue
Dunia belum memasuki tahun 2023 namun gue sudah mempelajari sebuah pelajaran terpenting dalam hidup, terutama dalam soal pertemanan. Gue adalah orang yang tergolong cukup percaya diri soal berteman. Untuk gue, nggak apa jika gue punya atau nggak punya teman, selama gue punya beberapa grup pertemanan yang solid, I will be okay.
Pelajaran ini cukup menampar gue, sih. Gue jadi mengerti bahwa walaupun seberapa cocok gue dengan seseorang, seberapa sering kami ngobrol, gue nggak akan tahu sifat asli orang tersebut jika belum dites dengan suatu masalah.
Hubungan gue dengan Hana, misalnya. Selama ini gue selalu hadir sebagai teman yang suportif dan sebagai orang yang selalu berusaha memberi pendapat obyektif. Itu karena gue menganggap dia teman baik. Jika gue sudah menganggap seseorang sebagai teman baik, biasanya sikap obyektif dan loyal gue perlahan-lahan akan keluar dengan sendirinya.
Tapi ternyata Hana bukanlah seperti teman yang gue pikirkan. Dia nggak bisa menerima pendapat obyektif gue dan malah mengusir gue dari DM-nya (bagus kalau gue diusir dari hidupnya sekalian, deh). Jadi ya udah. Nama Hana seolah sudah gue coret dari daftar teman baik.
Baik-baik aja deh lu, Hana. Ntar kalo suatu waktu suami lu main tangan lagi dan lu nyari temen cerita, jangan dateng nangis-nangis ke DM gue lagi ya.
Wah, aku juga ikut tersinggung. Anchornya TV yang nyebut monyet itu juga udah minta maaf secara ofisial lho, jadi bukan satu negara yang berpendapat kek gitu, dia doang kali.
Tapi ya klo udah fanatik ya emang udah ga keliatan lagi yang lain2nya, adanya yang jelek2 aja yang keliatan.
Aku juga suka timnas Maroko, lebih kearah mereka underdog ya, tapi aku tau banyak juga orang Indonesia yang dukung timnas Maroko karena agama. Agak aneh ya, but whatever lah. Salah satu cewe Indonesia yang tinggal disini juga suka jelek2in tim2 lain demi mendukung Maroko. Ajaib memang, tapi ya aku lagi mempraktekan sarannya Deny untuk tidak mengomentarin yang ngga perlu haha (ga selamanya berhasil sih haha, kadang gemes juga).
Ya udah Crys, salah satu pelajaran jadi dewasa memang ngeliat temen2 mana yang bisa diandelkan dan mana yang kudu say goodbye.
SukaSuka
Nah iya mbak. Ngeselin banget kan, asal generalisasi gitu dan asal nyomot nama negara berikutnya yang dia curiga bakal bikin headline rasis dan Islamofobik. Emang narasi dia belakangan ini lagi woke aja, apalagi gara-gara Piala Dunia. Emang dasar udah fanatik dan fans kaget makanya segala tentang timnas Maroko langsung dibelain. Apa dia ga mikir ya pemain di timnas tersebut banyak yang kewarganegaraan ganda, lahir/besar di Eropa dan emang dapet didikan bola di Eropa.
Ya, memang aku udah liat ini sebagai pelajaran. Awalnya kecewa sih, tapi ya udah lah, mendingan cari teman/berteman dengan orang yang sudah terbukti cocok baik dalam suka maupun duka.
SukaDisukai oleh 1 orang
Hai Chrystal selamat tahun baru ya…
Ngomongin tentang bola, aku ga terlalu tau banyak tentang bola setelah di Belanda, karena suami ga nonton bola, tapi karena anak anak sudah mulai besar kita ngomongin bola juga pas piala dunia kemaren.
Tentang pertemanan tetap semangat Chrystal, kayaknya kita semua pernah mengalami kejadian ajaib tentang pertemanan.
Eh, biasanya nama samaran itu sebut saja Mawar😁
SukaSuka
Karena dia bukan orang Indonesia, jadi namanya bukan Mawar, hihihihi
SukaSuka