Gue udah tinggal di Belanda cukup lama kan ya, sekitar delapan tahun. Walaupun begitu, sepertinya gue jarang sekali berada dalam peristiwa yang bikin gue ngerasa gegar budaya atau miskomunikasi. Mungkin ini dikarenakan sikap gue yang bodo amat dan cukup berpikiran terbuka untuk banyak hal.
Sayangnya, rekor delapan tahun minim drama ini harus berakhir karena belakangan ini gue mengalami banyak sekali gegar budaya yang berawal dari sepasang orang Belanda. Kita sebut saja mereka Romi dan Yuli karena mereka ini memang pasangan beneran.
Sekilas tentang Romi dan Yuli
Romi dan Yuli bukan teman gue, melainkan teman suami gue. Si R kan suka dengan hal-hal berbau occult dan spiritualisme tuh, nah awalnya dia berkenalan dengan Yuli lalu Yuli mengenalkan dia ke pasangannya. Ternyata Romi dan Yuli ini tetanggaan dengan kami. Karena itu, R senang sekali punya teman seumuran yang datang dari alamat yang sama.
Gue gimana? Yang pertama, kalau R senang, berarti gue akan berusaha untuk senang buat dia. Apalagi si Romi dan Yuli ini pasangan yang cukup “bener”, dalam arti kelakuan mereka cukup normal dan nggak anti-sosial. Makanya gue jadi oke-oke saja.
Walaupun begitu, gue nggak serta merta menempatkan diri sebagai teman mereka. Alasan gue sederhana, karena gue punya kesukaan dan minat yang berbeda dengan mereka. Romi dan Yuli ini adalah tipe-tipe orang-orang new age masa kini, sementara gue bodo amat sama kehidupan spiritual gue. Biarin aja lah mereka jadi temennya R, gue nggak mau ikut-ikutan.
Double whammy gegar budaya dari satu pasangan sekaligus
Sebenarnya, secara umum Romi dan Yuli adalah pasangan yang cukup asyik. Si Romi juga suka main video game dan gue lumayan nyambung dengan beberapa judul permainan yang dia mainkan, walaupun gue nggak mainin semua permainannya. Kalau sama Yuli sih gue agak-agak malas karena dia orangnya lebih pendiam dan terlalu intense. Tapi lama kelamaan gue merasa mereka jadi semakin menyebalkan, terutama soal uang dan bagaimana mereka memperlakukan orang-orang yang dekat dengan mereka.
Pelit level dewa
Kita semua sudah tahu ya bahwa orang Belanda bisa dibilang cukup perhitungan. Sering juga kita melihat konten-konten humor berisi stereotip orang Belanda yang sangat pelit ketika ada tamu. Tapi si Romi dan Yuli ini sepertinya pelitnya kelewatan. Cerita di bawah ini bahkan sudah dilabeli “pelit nggak normal” dari beberapa teman gue yang sudah tinggal lebih lama di Belanda.
Setiap kali Romi dan Yuli mengajak kami nongkrong, mereka selalu meminta kami yang membawa konsumsi dan mereka yang menyediakan tempat. Tapi ketika kami bertamu, mereka nggak pernah menyuguhkan teh, kopi, atau cemilan dari dapur mereka sendiri. Jika kami mengundang mereka ke rumah kami, mereka juga nggak pernah bawa buah tangan, padahal hal ini adalah sesuatu yang normal di masyarakat Belanda ketika diundang bertamu ke rumah orang lain.
No hosting skill
Sepertinya sepelit-pelitnya orang Belanda, seenggaknya mereka masih bikin sedikit effort jika ada tamu datang. Tapi sepertinya si Romi dan Yuli ini selain pelit, mereka juga nggak punya kemampuan untuk menjamu tamu.
Di poin atas gue sudah tulis bahwa mereka berpikir hanya menyediakan tempat udah cukup. Nah, kalau kami bawa konsumsi, mereka nggak ada inisiatif untuk mengambil piring/gelas/mangkok untuk menghidangkan cemilan tersebut. Dibiarkan aja gitu, di meja dapur atau meja ruang tamu. Si tamu nya yang harus mengatur cemilan sendiri. Ya menurut ngana, masa tamu sih yang kurang ajar harus menghidangkan makanan/minuman?
Beda lagi ceritanya R yang lumayan sering nongkrong di rumah Romi dan Yuli. Kata dia, kalau bertamu ke rumah mereka, mereka nggak nawarin tamunya makan atau minum. Pernah si R lagi main ke rumah mereka, lalu Romi nanya ke Yuli, “Mau roti bakar nggak?”. Si Yuli bilang dia mau. Lalu si Romi pergi ke dapur dan bikin roti bakar hanya untuk dia dan Yuli.
Pertemanan yang harus selalu seimbang seperti timbangan
Mungkin yang ini bukan termasuk gegar budaya ya, tapi lebih ke observasi pola pertemanan Romi dan Yuli yang menginginkan semuanya seimbang, bahkan mungkin terlalu obsesif sehingga nggak ideal.
Sebagai contoh, dua minggu lalu si R mengundang Romi, Yuli, dan satu orang lain untuk nongkrong di rumah kami. Beberapa jam sebelum tamu datang, gue cabut dari rumah untuk memberikan sedikit ruang untuk R bersiap-siap.
Ngga berapa lama kemudian, gue telpon R untuk ngecek apakah tamu-tamunya sudah datang. Dia bilang belum pada datang, tapi dia jengkel dengan Romi. Ceritanya, dia nanya di grup Whatsapp mereka, “Eh, ada yang mau nemenin gue ke supermarket nggak, untuk beli makanan dan minuman?”. Si Romi bilang nggak mau dengan nada agresif, “Ah, kok lo nggak bilang sih bahwa akan ada makanan, gue sudah masak untuk makan malam ini nih, dan gue nggak mau menunda makan makanan ini sampai besok”. Walaupun suami gue bilang ini dia yang bayar, tetap saja si Romi nggak mau pergi ke supermarket, akhirnya si R harus pergi sendirian dan dia hanya membeli beberapa botol bir dan soda.
Lalu gue menjawab, “Alasan si Romi nggak mau ke supermarket itu bukan karena dia udah masak duluan, tapi karena dia nggak mau bayar”. Pelan-pelan gue mulai bisa mencium gelagat mereka yang ribet banget soal duit. Gue ngerasa aneh sih, mereka ini menganggap suami gue teman bukan, sih? Kenapa mereka nggak pernah terbuka soal uang dan siapa-harus-bayar-apa?
Mereka punya uang, tapi terlalu egois dengan uangnya
Beberapa hari lalu, gue berdiskusi dengan suami gue mengenai kelakuan pasangan ini. Kemudian suami gue bertanya, “Menurut lo, mereka ini memang nggak punya uang, atau memang pelit aja sih?”
Menurut gue, Romi dan Yuli punya uang. Nggak banyak, tapi mereka tergolong masyarakat kelas menengah, lah. Soalnya mereka punya uang untuk membeli hal-hal untuk hobi mereka seperti game console terbaru, memorabilia game, printilan new age macam kristal dan drum, bahkan si Romi punya dua komputer. Yang jadi masalah adalah mereka terlalu sibuk menghabiskan uang untuk hobi mereka sendiri dan nggak mau menyisihkan uang untuk pertemanan dengan orang lain. Kalau sudah berteman kan sudah biasa ya, kali ini gue yang traktir, lain kali lo yang traktir, ganti-gantian seperti itu. Sepertinya konsep ini ngga ada di kamus Romi dan Yuli. Mereka hanya ingin hasil maksimal dengan pengorbanan seminimal mungkin.
Picky eater dan selalu komplain
Sudah bukan rahasia lagi bahwa selera makan orang Belanda termasuk “murah”. Pola makan mereka cenderung makan cepat, jadi ya mereka makan apa saja yang ada. Kebiasaan ini sepertinya membuat mereka menjadi masyarakat yang budaya makannya sungguh monoton. Makan pagi dan makan siang harus cepat. Makan malam… ya boleh lah, usaha dikit di dapur bikin makanan panas. Budaya makan yang serba bisa diprediksi ini juga membuat kebanyakan dari mereka menjadi picky eater. Termasuk si Romi dan Yuli.
Setiap kali kami mengundang Romi dan Yuli untuk makan di rumah, pertanyaan kami hanya satu, “Mereka mau dikasih makan apa, ya?”.
- Pola makan kami berbeda. Romi dan Yuli adalah orang Belanda pemakan segala, sementara gue dan R vegetarian.
- Gue dan R sudah terbiasa dengan pola makan yang nggak saklek seperti orang Belanda. Makan pagi kami kadang cuma roti atau kopi, tapi kadang kami makan berat saat makan siang dan malam, atau kebalikannya.
- R udah terbiasa dengan makanan Asia dan dia sudah ngga asing dengan makanan Indonesia. Rumahtangga kami memang berfokus di makanan Asia (Indonesia/Thailand/Cina/Jepang) dan sesekali makanan Barat yang sudah dimodifikasi jadi vegetarian/vegan.
Kalau Romi sih masih lumayan, dia tipe “pemakan segala”. Nah pacarnya ini agak lain. Saking picky eater -nya dia, Yuli mengaku nggak pernah makan salmon. Makan makanan vegetarian/vegan pun dia nggak pernah.
Suatu kali, saat kami mengundang mereka makan di rumah untuk pertama kali, gue membuat salad mentimun ala Asia yang rasanya asam, kecut, dan sedikit garlicky. Di komentari dong sama mereka, “Wow, aromanya bawang putih banget, ya”. Atau saat gue mengundang mereka ke acara malam Tahun Baru, si Yuli berkomentar, “Wow, dessert nya enak tapi nggak terlalu manis, ya”. Dan banyak lagi komentar-komentar lainnya yang membuat gue berpikir, “Sebenernya lu suka nggak, sih?”.
Gong nya adalah…
Minggu lalu, kami di undang ke rumah mereka untuk merayakan ulangtahun si Yuli. Dengan kelakuan pelitnya, si Yuli menulis di undangannya seperti ini: “Bring your own foods and drinks to share“. Gue sudah ada perasaan bahwa dia nggak akan menyediakan apapun.
Amit-amit lah, gue bayarin ulangtahun orang. Prinsip gue, kalau lo mengadakan acara, apalagi ulangtahun, ya berarti konsumsi harus lo sediakan. Masa lo yang ulangtahun, tapi lo membebankan konsumsi ke tamu yang datang? Bukannya bersyukur tamu-tamu lo sudah mau menyediakan waktu mereka untuk datang, ini malah dibebankan bawa konsumsi. Makanya di acara kemarin gue hanya berbekal satu kaleng Cola dan satu bungkus cemilan untuk gue makan dan minum sendiri.
Ternyata perasaan gue bener. Sama sekali nggak ada hidangan apapun dari Yuli untuk para tamu. Selain itu, nggak ada dekorasi ulang tahun, nggak ada musik, balon, atau apapun itu yang menandakan ada acara ulangtahun. Pokoknya ini adalah salah satu ulangtahun tersedih yang pernah gue datangi.
Acara ulangtahun tersebut membawa dampak yang cukup besar buat gue. Maka dari itu, gue bilang sama R bahwa gue nggak mau lagi datang ke rumah mereka atau diajak nongkrong bersama mereka. Ternyata, si R juga berkata demikian, “Gue juga mau jaga jarak. Kalau mereka undang gue ke rumah mereka, gue nggak mau datang. Gue juga nggak mau undang mereka main ke rumah kita lagi.”
Begitu gue tanya kenapa, si R bilang bahwa kelakuan mereka sudah menjadi terlalu aneh dan bodoh untuknya. Mulai dari pesta ulangtahun serba minimalis sampai ke cara pandang si Romi mengenai beberapa konsep new age yang nggak sesuai dengan pendapat R (lagi-lagi, jangan tanya gue tentang hal ini, karena gue sama sekali nggak paham). Akhirnya dia memutuskan untuk jaga jarak.
Ya udah, deh. Semoga dengan keputusan jaga jarak ini, gue jadi nggak usah bersinggungan lagi dengan si Romi dan Yuli. Kepelitan dan egoisme mereka sudah nggak bisa gue tolerir lagi. Lebih baik nggak punya teman sama sekali, daripada kenal sama orang yang sangat perhitungan dengan orang lain.
Udah pernah ngomongin ini ke mereka? Pengen tau alias kepo aja kenapa kelakuan mereka aneh.
SukaSuka
Belum pernah, tapi kalau dilihat dari kelakuan mereka sih kalaupun diomongin juga ga bakal berubah. Sepertinya emang udah diasuhnya seperti itu.
SukaSuka
Ok, tinggalkan saja berarti 🥲
SukaSuka
Ya alloh ini mah asli level dewa dewi banget, penasaran apa mereka jg punya temen yang beneran temen sesama landa dan awet ðŸ˜ðŸ˜
SukaSuka
Si cowok sepertinya lone wolf, si cewek pengen cari temen tapi sekalinya dia mau berteman, intens sekali. Aku sampe akhirnya jaga jarak karena ngga kuat.
SukaSuka