It’s me, hi, I’m not the problem, not me~
Entah kenapa, bulan ini rasanya gue ingin memutuskan semua hal yang berbau toxic dalam kehidupan gue. Salah satu hal yang ingin gue berhenti lakukan adalah berhenti berinteraksi di grup-grup Facebook yang toxic.
Grup ini sudah gue sebut di cerita mengenai diajak ngobrol orang yang sok akrab. Untuk penjelasan lebih jauh mengenai jenis grup dan tipe-tipe postingan di dalamnya, lebih baik kalian baca di tulisan itu aja, karena sudah ada penjelasannya sedikit. Di tulisan ini, gue mau curhat sejenak tentang alasan-alasan mengapa gue ingin berhenti dari grup tersebut.
Disklaimer: Tulisan ini murni curhatan dan mau ghibah, jadi nggak semua didasari fakta di lapangan. Murni observasi dari gue saja.
Banyak anggota yang menyalahgunakan fitur “Anonymous Post”
Untuk yang nggak tahu, beberapa grup Facebook menyalakan fitur “Anonymous Post”. Sesuai dengan namanya, Anonymous Post memampukan kita posting sesuatu secara anonim. Nama kita tidak akan tertera di layar, namun si admin grup bisa melihat nama kita sebagai penulis postingan sebelum menyetujui/menolak tulisan kita.
Awalnya, para anggota grup menggunakan fitur anonim ini untuk tulisan yang sifatnya betul-betul pribadi seperti curhat tentang KDRT, masalah anak, partner, karir, atau pertanyaan lainnya yang menurut gue wajar untuk ditanyakan secara anonim. Namun lama kelamaan semakin banyak orang yang menggunakan fitur ini untuk bertanya hal-hal remeh temeh seperti bertanya tentang rekomendasi toko atau hal-hal praktis seperti gimana cara sewa atau beli rumah, gimana cara isi formulir pajak, dan hal-hal harmless lainnya.
Tentang Anonymous Post ini, pendapat orang memang terbelah dua. Ada yang setuju dengan keberadaan fitur ini. Menurut mereka, anggota grup jadi punya pilihan apakah ingin identitasnya terungkap atau tidak. Ada juga yang mengatakan bahwa Anonymous Post ini memberi ruang untuk kaum-kaum marjinal (korban KDRT, penyintas penyakit mental atau fisik dll) untuk mendapatkan dukungan yang diperlukan dari grup. Masuk akal, sih. Tapi gue lebih ke arah tidak suka Anonymous Post karena alasan-alasan di bawah ini:
- Postingan anonim di grup ini semakin lama semakin banyak, Dalam satu hari, bisa jadi semua postingan baru di grup itu adalah postingan anonim. Seperti dijelaskan di atas, postingan-postingan ini tidak semua “pantas” menjadi postingan anonim juga.
- Gue merasa kurang connected dengan postingan anonim karena ikon mereka semua berubah menjadi ikon Facebook gambar bayangan orang dan latarbelakang warna biru. Gue jadi tidak bisa melihat nama dan foto si pengirim tulisan ini. Faktor relatability nya menjadi sangat berkurang.
- Gue merasa nggak adil karena hanya si penanya yang bisa bertanya secara anonim tapi si penjawab di komentar nggak bisa jawab secara anonim. Untuk apa gue memberi saran untuk orang tak dikenal tapi identitas gue masih kelihatan?
Grup itu kebanyakan drama
Buat gue, sedikit drama itu boleh lah ya. Apalagi jika gue bukan bagian dari drama tersebut dan jadi penonton aja. Grup ini sudah menyediakan drama yang cukup untuk gue tonton dan gue diskusikan dengan suami. Tapi belakangan ini grup tersebut lebih banyak mudarat daripada manfaatnya. Sepertinya, tiap hari ada saja postingan yang menyebabkan drama. Entah itu konten dari postingan tersebut, atau orang yang cari ribut dengan orang lain di kolom komentar postingan yang harmless.
Contoh postingan yang kontennya aja udah cari ribut: Ada seorang penanya yang tinggal di luar Belanda (non-EU juga), berhubungan secara online dengan laki-laki di Belanda. Lalu si laki-laki ini mengajak dia kopdar di Belanda. Setelah si perempuan kopdar dengan pacarnya di Belanda, dia baru tahu bahwa pacarnya itu ternyata sudah beristri. Si lelaki sudah berjanji akan memberikan pekerjaan dan mengurus ijin tinggalnya, dia pun berjanji untuk menceraikan istrinya. Awalnya, si perempuan ini bingung karena dia nggak mau menjadi side chick. Tapi karena dia ingin sekali tinggal dan berkarir di Belanda, maka dia dengan sadar menyanggupi permintaan si lelaki untuk menjadi selingkuhannya. Sudah pasti, tulisan seperti ini akan jadi tulisan yang sangat kontroversial. Banyak komentar dengan berbagai sentimen di postingan itu.
Nah, ada juga yang postingan biasa saja, tapi entah kenapa kolom komentar menjadi adu bacot anggotanya. Kemarin ada seseorang (tidak secara anonim) yang bertanya tentang baju/gaun apa yang harus dipakai untuk datang ke acara sakramen baptis anak dari seorang teman. Dia nggak mau berpakaian terlalu seronok, tapi dia juga nggak mau cuma memakai celana jeans dan blus. Kemudian ada seseorang yang berkomentar, awalnya harmless, tapi lama-lama jadi adu bacot karena yang satu nggak mau menerima pengalaman orang lain di bidang yang sama yang lebih bagus daripada dia.
Karena grup ini menurut gue sudah terlalu kebanyakan drama, akhirnya gue ingin berhenti saja. Malah gue jadi berpikir, bisa jadi admin grup ini menyetujui postingan-postingan cari ribut itu untuk nambah engagement di grupnya.
Postingan grup yang kebanyakan terlalu emosional
Gue akui bahwa gue adalah orang yang nggak begitu suka lihat sesuatu yang terlalu emosional. Menurut gue di grup ini orang-orang hanya menulis postingan untuk mencurahkan emosinya aja. Banyak dari postingan di grup itu yang isinya meledak-ledak, panik, bingung, pokoknya emosi yang instan. Seolah dia sedang merasakan sebuah emosi yang sangat intens, lalu refleksnya adalah langsung curhat di grup tersebut tanpa menenangkan diri terlebih dulu (atau mungkin setelah dia curhat gede-gedean di grup, dia langsung merasa lebih tenang kali ya).
Rata-rata penulis postingan seperti ini curhat tentang hal yang sebenarnya bisa menunggu, seperti curhatan bombastis tentang tak kunjung dapat kerja atau postingan kaget tiba-tiba diputusin pacar yang bertindak sebagai sponsor dia tinggal di Belanda. Alih-alih mencari sumber valid untuk mencari jalan keluar, mereka memutuskan untuk curhat di grup. Mungkin niatnya baik sih, mungkin mereka curhat untuk mencari teman senasib sepenanggungan, tapi kalau terlalu banyak postingan yang seperti ini, jadi capek bacanya. Apalagi kadang tulisan orang-orang seperti ini kurang terstruktur. Namanya juga nulis saat sedang penuh emosi.
Banyak juga postingan (biasanya anonim) yang terlalu TMI alias too much information. Topik-topiknya biasa berkutat di minta saran bidang relationship baik itu masih pacaran atau sudah menikah, ada juga yang curhat sungguh mendetail tentang hubungan dia dengan mertuanya. Capek banget bacanya! Bukan hanya capek membaca postingan yang sangat meletup-letup, juga capek membaca komentar-komentar yang berpotensi bikin berantem.
Kurangnya pemahaman membaca (reading comprehension) dari kebanyakan anggotanya
Pernah nggak, kamu bertanya sebuah pertanyaan spesifik tentang sebuah topik tertentu, tapi malah dapat komentar-komentar balasan yang nggak nyambung? Nah, di grup ini, ada banyak sekali anggota yang sepertinya (maaf) punya kemampuan pemahaman membaca yang sangat kurang.
Contohnya, beberapa bulan lalu gue bertanya sesuatu tentang skincare. Untuk mencegah saran-saran yang nggak diminta, pertanyaan gue sengaja gue tulis cukup spesifik. Beberapa orang memang menulis jawaban yang betul-betul menjawab pertanyaan tersebut. Tapi komentar orang-orang yang jawabnya nggak nyambung malah lebih banyak lagi.
Bukan hanya nggak nyambung, kebanyakan dari mereka malah memberikan opini nggak diminta. Ada juga yang ngatain rutinitas skincare gue, lalu membuat asumsi yang nggak-nggak mengenai kulit gue. Nyebelin banget, kan? Bukannya gue mendapatkan jawaban yang betul, malah gue harus membaca komentar-komentar yang bukan hanya nggak nyambung tapi juga nggak mengenakkan. Seolah-olah mereka ngomong “Nih, rutinitas skincare gue lebih bagus daripada elu!”, gitu. Padahal bisa jadi kalau gue ikutin omongan mereka, kulit gue jadi lebih jelek.
(Gara-gara ini, setiap kali gue bertanya sesuatu dan gue dapat jawaban yang tepat, gue akan langsung menutup kolom komentar. Biar nggak dapat saran-saran lain yang nggak membantu.)
Penutup
Setelah gue pikir-pikir, grup seperti ini malah lama-lama bikin gue berubah jadi orang yang negatif. Sempat ada beberapa saat di mana gue pengen cari drama lalu gue main ke grup itu untuk mencari drama. Pikiran gue saat itu, “Postingan bego mana lagi nih yang bisa gue roast?”
Lama kelamaan capek juga. Selain lima alasan di atas, topik-topik yang cenderung repetitif membuat gue semakin nggak bergairah untuk berkontribusi lebih di grup tersebut. Banyak sekali orang-orang yang curhat tentang sulitnya mencari kerja, sulitnya mencari teman, susah menjalin hubungan baik dengan tetangga, padahal setelah diulik masa tinggalnya di Belanda ternyata baru sebentar. Ya wajar dong kalau kamu masih sulit cari kerja atau mencari teman, baru pindah kok, sudah ingin hal-hal yang instan?
Satu hal penting yang nggak akan terjadi lagi begitu gue meninggalkan grup ini: Nggak bakal ada lagi orang-orang yang mengirim pesan tak diundang lalu curcol sepihak tentang susahnya mengurus ijin tinggal partner. YES!