Ramadan (dan Lebaran) di Belanda

Waktu pertama kali gue pindah ke Belanda sebagai pelajar, Ramadan dinikmati dengan cara berbuka dan sahur bersama teman-teman sesama pelajar Indonesia. Semuanya terasa sama dan familiar. Walaupun gue nggak merayakan Ramadan dan Idul Fitri, tapi sebagai pelajar di rantau, rasa kebersamaannya masih cukup erat. Bahkan gue sempat mengikuti halal bihalal satu kali di sebuah restoran Padang yang (dulu) terkenal di kota Den Haag.

Setelah gue melepaskan status pelajar dan berkecimpung ke dunia nyata, rupanya Ramadan dan Idul Fitri dirayakan dengan sangat berbeda. Nah, tulisan ini mungkin bisa memberi informasi lebih dalam untuk kamu yang mau pindah ke Belanda dan kuatir gimana cara berpuasa dan merayakan Idul Fitri di sini. Atau jika kamu sekedar penasaran dengan gimana cara komunitas Muslim di Belanda berpuasa dan merayakan Lebaran. Simak terus, ya!

Ramadan yang tidak komersil dan cenderung sederhana

Tidak seperti hari raya Kristiani seperti Paskah atau Natal, Ramadan tidak terlalu dirayakan secara meriah dan komersil. Dia hanya dirayakan secara sendiri-sendiri di komunitas-komunitas Muslim atau di kantong-kantong wilayah multietnis. Ada anggapan mengapa Ramadan dan Idul Fitri tidak terlalu populer, yaitu karena di Turki dan Maroko (komunitas imigran beragama Islam terbesar di Belanda), Ramadan dan Idul Fitri dianggap sebagai “Kleine Feest” atau “pesta kecil” dalam bahasa Indonesia. “Grote Feest” atau “pesta besar” menurut mereka adalah saat Idul Adha. Kebalik ya dengan versi Indonesia.

Di kota gue, Den Haag, ada sebuah “kampung” bernama Schilderswijk. Daerah ini tergolong spesial karena mayoritas penghuninya datang dari latarbelakang imigran. Di Den Haag, Schilderswijk ini adalah episentrum keramaian Ramadan dan Idul Fitri. Mau cari apapun yang berkaitan dengan persiapan Ramadan dan Lebaran, bisa ditemukan di Schilderswijk.

Secara komersil, sebenarnya Belanda termasuk oke dalam merayakan Ramadan dan Idul Fitri. Banyak toko buku, supermarket, ikut memeriahkan bulan Ramadan dengan cara menjual hal-hal yang “Ramadan banget” seperti menjual kurma atau parsel Lebaran. Di beberapa toko buku seperti Primera banyak dijual tas-tas bingkisan dengan tulisan “Eid Mubarak” dan buku-buku tentang cerita Nabi (biasanya untuk anak-anak). Walaupun begitu, promo dan jualan ini nggak dilakukan secara nasional. Printilan seperti ini hanya bisa kamu temukan di toko buku dan supermarket di daerah yang banyak imigran Muslimnya.

Walaupun kemeriahan Ramadan gue rasa terlalu “lokal”, ternyata ada merek-merek yang berusaha menggaet pasar kaum Muslim dengan cara membuat section khusus di website mereka tentang Ramadan. IKEA, misalnya. Di website IKEA Belanda, ada section spesial Ramadan yang menjual berbagai perkakas dapur dan meja makan dengan copy ala Ramadan. Menurut gue ini cukup spesial, karena setelah gue bandingkan dengan website IKEA di negara tetangga (Jerman dan Belgia), mereka nggak menyediakan section ini.

Kompas Belanda merayakan Ramadan: tradisi Turki dan Maroko

Ramadan datang ke Belanda sebagai tradisi yang dibawa oleh imigran pekerja asal Turki, Maroko, dan negara-negara mayoritas Islam lainnya. Di dekade 1960an, pemerintah Belanda membuka negara ini untuk imigran pekerja dari negara-negara tersebut sebagai upaya membangun negara. Banyak dari mereka memutuskan untuk tinggal dan beranak-pinak di sini. Karena itu, tradisi ala Turki dan Maroko menjadi “true north” bagaimana cara Belanda merayakan Ramadan dan Idul Fitri secara mainstream.

Saat bulan Ramadan, makanan-makanan asal Levantine (makanan yang bermula dari negara-negara di atas Semenanjung Arab, namun akhirnya berkembang ke Turki dan sebagian Afrika Utara) menjadi primadona. Bukan hanya kurma, tapi juga flatbread dan berbagai cocolannya seperti hummus dan baba ganoush, baklava, dan falafel.

Tipikal makanan Levantine. Ada kurma, dolma, flatbread dan hummus. Jangan lupa botol kaca isi minyak zaitun.

Saat Idul Fitri, saatnya kudapan manis yang menjadi pusat perhatian, seperti baklava dan makanan yang manis-manis lainnya. Makanya orang Belanda menamakan Idul Fitri dengan kata “suikerfeest” (Pesta yang manis-manis). Lagi-lagi ini berangkat dari kebiasaan Muslim Turki yang merayakan Idul Fitri dengan semua yang manis.

Kue-kue populer saat Idul Fitri adalah kue-kue khas Turki

Atmosfer yang berbeda

Karena sifatnya yang tidak terlalu meriah, berpuasa di Belanda juga hal yang bisa jadi cukup menantang. Bukan hanya harus berpuasa lebih lama (apalagi jika Ramadan jatuh di musim semi dan musim panas), tapi juga cukup menantang karena atmosfernya yang berbeda dari Indonesia.

Contohnya adalah saat berbuka puasa. Di sini, nggak ada kebiasaan bukber alias buka puasa bersama di restoran. Ya gimana mau buka bersama kalau Ramadannya di musim panas yang bukanya bisa di jam 10 malam dan restoran sudah pada tutup, hahaha… Kalaupun ada acara bukber biasanya dilakukan di rumah-rumah.

Shalat Tarawih juga begitu. Sepiiii banget. Padahal gue tinggal di daerah yang banyak imigrannya, lho. Sepertinya di sini nggak ada polusi suara dalam bentuk adzan atau khutbah yang disiarkan pakai loudspeaker. Begitu juga dengan saat sahur, nggak ada tuh bedug menandakan harus sahur.

Sebagai pendatang dari negara mayoritas Islam, mungkin hal-hal ini bisa membuat culture shock yang agak spesial. Di Indonesia (dan negara-negara tetangga) kan, atmosfer Ramadan dan Lebaran tuh sangat istimewa. Mulai dari bazaar Ramadan, pasar kaget makanan berbuka puasa setiap sore, bedug menandakan sahur, atau atmosfer kekeluargaan dan makan bersama keluarga dan teman yang hanya datang setahun sekali. Di Belanda tidak begitu. Gue yang hanya menjadi pengamat pun jadi berpikir, berpuasa di Belanda mungkin akan membuat orang merasa sendirian, karena apapun harus dilakukan sendiri.

Idul Fitri yang juga berbeda

Pertama-tama, perlu dicatat bahwa hari raya Idul Fitri bukan termasuk dari rangkaian hari besar nasional di Belanda. Jadi, jika kamu bekerja di Belanda, kamu harus menggunakan cuti liburan kamu untuk merayakan Idul Fitri bersama keluarga atau komunitasmu.

Yang kedua, di Belanda ada banyak mesjid untuk berbagai komunitas Muslim. Yang paling populer adalah mesjid khusus orang Afrika, mesjid khusus orang Maroko, orang Turki, dan untuk imigran dari negara-negara Timur Tengah. Di Den Haag juga ada masjid untuk orang Indonesia, namanya Masjid Al-Hikmah. Masjid ini tergolong aktif menyelenggarakan acara-acara khusus bulan Ramadan dan shalat dan bazaar Idul Fitri untuk masyarakat Indonesia di Den Haag.

Setelah shalat Idul Fitri, biasanya KBRI Den Haag melangsungkan acara halal bihalal di kota satelit Den Haag bernama Rijswijk. Di acara halal bihalal ini, kamu bisa masuk secara gratis dan mencicipi berbagai hidangan Lebaran khas Indonesia. Ada panggung musik dan acara pembagian hadiah pula. Bukan hanya masuk secara gratis, tapi semua makanan di halal bihalal itu gratis juga, makanya acara halal bihalal ini selalu penuh setiap tahun.

Jadi… gimana cara merayakan Ramadan dan Idul Fitri di sini?

Di atas sudah gue singgung bahwa bahasa Belanda untuk Idul Fitri adalah “suikerfeest” karena masyarakat Belanda mengidentikkan Idul Fitri dengan makan yang manis-manis. Beberapa tahun belakangan, ada generasi baru yang menginginkan adanya pergeseran nama dari suikerfeest. Lebih banyak orang kini menyukai kata ‘Eid-Al-Fitr’ dan lebih banyak yang mengucapkan selamat dengan sebutan “Eid Mubarak” ketimbang “Fijne Suikerfeest”. Gue pribadi menyukai cara ini karena jaman sekarang Lebaran tak lagi identik dengan semua yang manis. Belanda jaman sekarang sudah diisi oleh imigran dari latarbelakang Muslim yang berbeda dan dengan tradisi Lebaran yang berbeda pula.

Sebagai pengamat, gue juga merasa bahwa berpuasa dan menutup puasa dengan Idul Fitri di sini adalah hal yang sangat sakral. Nggak ada yang namanya tren bukber bersama teman atau kirim-kiriman parsel. Semua dilakukan secara pribadi, fokus mendekatkan diri kepada Yang Kuasa dan keluarga masing-masing. Mau nggak puasa juga nggak apa-apa. Nggak ada yang akan julid ke kamu jika kamu nggak berpuasa padahal kamu beragama Islam. (Nggak ada yang akan kepo juga, nanya-nanya “agama kamu apa?”).

Selamat berpuasa dan selamat Lebaran!

Iklan

9 komentar pada “Ramadan (dan Lebaran) di Belanda”

  1. Di Denmark ramadan sepi sekali, ngga ada markernya sama sekali. Ngga ada deal khusus di supermarket atau notifikation di toko klo ada Eid atau Ramadan. Mungkin karena jumlah imigran muslim di Belanda jauh lebih banyak ya, sementara disini politik (dan banyak orang) tidak begitu simpatik dengan warga dari negara tertentu atau agama tertentu jadi mungkin di downplay. That’s my 2 cents

    Suka

    1. Berarti mungkin cuma toko2 lokal di daerah imigran yang bikin woro-woro soal Ramadan kali ya. Kemarin aku baru liat iklan supermarket besar di Belanda (si Albert Heijn) bikin acara buka puasa massal di salah satu cabang di Den Haag. Kalau mau ikutan harus daftar dulu. Supermarket chain lain deket rumahku (namanya Jumbo) juga bikin acara buka puasa massal.

      Disukai oleh 1 orang

  2. Thank you ucapan puasa dan lebarannya Crystal. And thank you udah bikin postingan ini, sebagai orang yang sangat keciiil kemungkinan pergi keluar negeri ketika lebaran, jadi tau lebaran di negara lain seperti apa 🙂

    Suka

    1. Aku pernah ikutan halal bihalal KBRI mba Puji. Ramenya pol, sampe tumpah-tumpah, mau nyendok makanan gratis pun gak tau mau nyendok apalagi karena makanannya belom di refill. Nyari tempat duduk pun susah. Alhasil pulang cepet karena ribet kebanyakan orang. Mba Deny pernah cerita kalau shalat Ied di Masjid Al-Hikmah suka ada yang jualan makanan, tapi gak banyak.

      Suka

  3. Mengukip tulisannya “Sepertinya di sini nggak ada polusi suara dalam bentuk adzan atau khutbah yang disiarkan pakai loudspeaker.” Itu apa ya maksudnya dengan polusi suara? Merendahkan sekali!

    Oh ya, saya tinggal 5 tahun di daerah Jakarta Barat dekat dengan gereja-gereja yang berkali-kali mendentangkan lonceng gereja dalam sehari yang bunyinya sangat nyaring, bahkan di tengah malam pun tepat pukul 12 malam, lonceng gereja berdentang kencang sampai saya terbangun karena kaget dengan dentangan bunyinya, tapi tidak pernah sekali pun saya mengatakan kalau bunyi lonceng gereja itu sebagai “polusi suara”. Have some respect!

    Kalau di Indonesia tuh, kalau dibilang lonceng gereja sebagai polusi suara sama mayoritas, pasti langsung dicap atau main kartu, intoleran. Haha menyedihkan dan munafik!

    Suka

    1. Ya ampun, kamu ini buzzer dari mana sih. Nggak nyambung. Ya emang menurut gue semua suara yang kekencengan, bukan cuma bunyi adzan pake loudspeaker tu polusi suara kok. Menurut gw bunyi orang ngegas mobil/motor keras2 juga polusi suara. Kalo ngga suka baca tulisan dan pendapat saya, ngga usah baca dan ngga usah komen.

      Suka

      1. Keknya troll Crys, gosah dijawab. Klo asli beneran, kan ada profilnya. Lagian adzan dan khutbah disamain sama lonceng, ngga nyambung. Lonceng berdentang selesai. Adzan, khutbah sama anak2 kecil latian recite Quran itu bisa berjam jam. Syukurlah ga boleh yang begituan di Eropa.

        Suka

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.